Dimanakah Anak-anak Dalam Historiografi Indonesia-sentris?
Penulis: Amos
Editor: Muhammad Fachrul Rabul
![]() |
Potret sekelompok siswa sekolah Hoogeschool. (Foto: geheugenvannederland.nl.) |
Jika
Sartono Kartodirdjo banyak mengkaji sejarah petani kecil dan dinamika
sosialnya, Ong Hok Ham banyak mengkaji sejarah Tionghoa peranakan, Kuntowijoyo
banyak membahas sejarah umat Islam, Ita Fatia Nadia membahas sejarah perempuan,
Suharto Pranoto banyak membahas sejarah perbanditan. Lalu, dimanakah anak -anak dalam historiografi Indonesia? Apakah anak anak memiliki sejarah? Apa
pentingnya membahas sejarah anak?
Permasalahan
ini menjadi inti gagasan dalam tulisan ini, permasalahan historiografis yang terjadi
menyiratkan seakan anak-anak tidak memiliki tempat dalam historiografi
Indonesia. Padahal anak-anak pun adalah bagian dari tatanan masyarakat,
walaupun memang seringkali dilupakan dan dianggap tak memiliki fungsi sosial.
Ketika membahas anak sebagai fokus studi sejarah, maka kita tidak bisa
membicarakannya tanpa memahami Michael Foucault.
Ia
adalah seorang pemikir besar filsafat pos-modernisme. Kajian dan fokus studinya
sangat luas sekali, mulai dari orang gila, seksualitas, sistem pengetahuan, dan
anak anak. Gagasan inti Foucault mengenai kontrol kebenaran dan konstruksi
wacana yang berasal dari kekuasaan.
Kekuasaan bagi Foucault adalah pihak yang
mengendalikan sebuah wacana, sehingga terjadi sebuah kontrol untuk menentukan
“kebenaran”. Akhirnya, muncul konsekuensi logis berupa marginalisasi
dan pembungkaman kepada yang dianggap “berbeda” atau “abnormal”
(dalam istilah Foucault “the other”) dari wacana kebenaran itu.
Menurut Foucault, anak dalam era modernisme,
dianggap sebagai makhluk kecil yang harus dikontrol, diatur, dan dilembagakan
sedemikian rupa. Wacana tentang masa kanak-kanak yang ideal diatur sedemikian
rupa oleh kekuasaan. Anak – anak dianggap “yang lain”, sehingga
mereka direpresi secara kewacanaan karena dianggap sebagai objek dari kekuasaan,
dalam hal ini lembaga pendidikan, lembaga keluarga, dan sistem sosial.
Gagasan
tersebut berpengaruh pada akhirnya kepada kemunculan kajian sejarah tentang
anak-anak atau masa kekanakan. Phillipe Aries, seorang sejarawan dari Perancis,
adalah salah satu sejarawan yang dipengaruhi oleh gagasan Foucault. Aries
membuat sebuah karya ikonik, yaitu “Centuries of Childhood: A Social History of
Family Life” Ia dianggap sebagai pionir kajian sejarah anak (history of child
and chilhood). Dalam karyanya yang ikonik itu Aries menguraikan konsep bahwa
anak anak pun membentuk sejarah.
Menurut
Aries, konsep “masa kecil” (childhood) adalah produk dari wacana yang dibuat
oleh modernitas. Sebagaimana produksi wacana oleh relasi kuasa yang digagas
oleh Foucault, Aries mengembangkan itu sebagai sebuah pijakan kajian
sejarahnya.
Dalam karyanya itu Aries membicarakan bagaimana anak-anak
dibesarkan pada abad ke 17 sampai 18, tetapi tidak hanya berbicara tentang
proses membesarkan anak, Aries juga membicarakan bagaimana produksi wacana
tentang masa kecil atau childhood dibangun. Dalam kajian ini terasa sekali
pengaruh Foucault, terutama gagasan tentang relasi kuasa dan wacana.
Kajian
sejarah anak juga dilakukan oleh Jane Humphries, seorang sejarawan dari Oxford
University. Ia mengkaji bagaimana peran dan pengaruh buruh anak atau pekerja
anak dalam era revolusi industri. Kajian sejarah anak-anak menjadi penting
dalam melihat dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang lebih besar. Semenjak
Foucault dan Aries, Anak-anak dipandang sebagai penggerak sejarah, bukan lagi
sebagai objek atau mahkluk marjinal saja.
Selain nama-nama yang sudah
disebutkan, sebenarnya masih banyak lagi sejarawan yang mengkaji anak-anak dan
masa kecil, tetapi yang menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan kajian
sejarah anak dalam historiografi Indonesia?
![]() |
Peran anak-anak jarang sekali ditampilkan dalam narasi sejarah Indonesia. (Ilustrasi: Muhammad Lazuardi) |
Bias
Generasi dalam Kajian Sejarah Indonesia
Sepanjang
penelusuran terhadap berbagai karya historiografi, sedikit sekali ditemukan
kajian sejarah anak dalam historiografi Indonesia. Tampaknya permasalahan ini
sangat rumit, baik secara ontologis maupun epistemologis. Tetapi sebelum
membedah ini lebih jauh, ada beberapa fakta sejarah tentang anak-anak yang
sedikit disinggung oleh beberapa sejarawan dalam karya – karyanya. Yang pertama
adalah Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.
Ia
menemukan fakta bahwa dalam perkebunan perkebunan di Deli abad 19, ada perilaku
seksual berupa sodomi atau pederasty di
barak kuli laki-laki. Korban dari perilaku seksual menyimpang ini adalah
anak-anak, bahkan menurut Baay, mereka sampai melacur dan dijadikan komoditas
seksual oleh kuli laki laki dewasa. Anak-anak yang menjadi korban penyimpangan
seksual ini disebut anak-anak sapi.
Berikutnya
Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 – 1680: Tanah di
Bawah Angin menyinggung bahwa dalam perdagangan budak era kolonial, kita
bisa melihat adanya gadis-gadis muda atau bahkan anak-anak yang juga
diperjualbelikan sebagai budak di Nusantara. Menurutnya, dalam beberapa daerah,
status sebagai budak bisa menurun kepada anak-anak yang dilahirkan oleh para
budak, sehingga anak-anak tumbuh besar dan hidup sebagai budak.
Dari
kedua contoh tersebut, kita bisa melihat bahwa setiap fenomena ekonomi dan
sosial yang terjadi memiliki dinamika yang kompleks. Selama ini kajian sejarah
kita didominasi usaha untuk menelaah problem kelas, baik antara kelas penjajah
dan masyarakat jajahan, antara kelas tuan tanah dan petani, antara pemilik
perkebunan dengan kelas buruh.
Tetapi ada sebuah dinamika lain yang berkaitan
dengan usia, yaitu tentang orang dewasa dan anak. Problem kelas yang terjadi
memiliki dimensi tentang dinamika sosial antar-generasi, sehingga kita bisa
melihat berbagai ekspresi dominasi usia. Jika kembali lagi dalam kerangka
berpikir Foucault, disinilah letak posisi anak-anak sebagai pihak yang
tersisihkan dan tak berdaya. Apalagi jika kita menempatkan anak-anak dalam
konteks dinamika kelas, yaitu anak-anak sebagai salah satu pihak dalam kelas
tertindas itu.
Sehingga apa yang terjadi adalah penindasan berlapis, yaitu
dominasi usia dan dominasi politik. Sedikit fakta sejarah yang ditemukan oleh
Reid maupun Baay adalah contoh yang yang baik mengenai keterbungkaman anak-anak
dalam dinamika sosial masyarakat pada eranya. Tak berlebihan jika kita menyebut
fenomena dan permasalahan historiografis ini sebagai bias generasi.
Tetapi
secara ontologis permasalahan tidak berhenti disini, tantangan berikutnya bukan
hanya mengamati bias generasi yang terjadi dalam istilah historiografi
Indonesia, tetapi seperti Foucault dan Aries, yaitu mendekonstruksi wacana
historis tentang anak dan masa kanak-kanak. Setidaknya ada beberapa pertanyaan
dekonstruktif, yaitu: Bagaimana konsep masa kekanak-kanakan dibangun oleh
sebuah masyarakat dala era sejarah tertentu di Indonesia? Dalam rentang
sejarah, seperti apa bentuk represivitas wacana yang terjadi kepada anak-anak?
Seperti apa dominasi politik yang dilakukan kepada anak-anak terutama dalam
dinamika sosial antar generasi dan kelas?
Mulai
dari era VOC, era tanam paksa, era revolusi fisik, era kemerdekaan, era Orde
Lama, sampai era Orde Baru, banyak sekali peristiwa sejarah yang terjadi dan
banyak juga fenomena yang bersinggungan dengan dinamika antar generasi – antar
kelas. Sudah tentu banyak sekali ruang historiografi yang bisa diisi, terutama
tentang anak-anak.
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin membahas sebuah buku
yang penting dalam kajian sejarah anak di Indonesia, yaitu “Anak-anak Tim-Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam.” karya Helene van Klinken. Meski
kajian sejarah kontemporer, buku ini adalah salah satu karya yang benar benar
menelaah anak secara historis, bahkan epistemologis.
Penelitian
tersebut mengkaji proses pemindahan atau transfer anak anak di Timor Timur ke
Indonesia selama tahun 1980-1998, menurut data van Klinken, ada sekitar 4.000
anak yang dipindahkan baik secara paksa maupun dengan persetujuan ke Indonesia.
Penelitian ini menghasilkan hipotesis bahwa proses pemindahan anak dengan dalih
pendidikan atau penyelamatan bisa dimaknai sebagai sebuah upaya propaganda.
Upaya tersebut menghasilkan sebuah citra agar masyarakat Timor Timur secara
umum menyetujui integrasi kepada Republik Indonesia, sedangkan, invasi militer
dan pengiriman tentara masih terus berlangsung di Timor Timur. Melalui riset
van Klinken, kita bisa melihat bahwa kajian sejarah anak seperti yang digagas
Aries dan Foucault sangatlah mungkin dilakukan dalam historiografi Indonesia.
Lalu, pertanyaan berikutnya untuk menutup tulisan ini: Dimanakah anak – anak
dalam historiografi Indonesia?
Referensi:
Philippe, Aries.
1962. Centuries of Childhood: A Social
History of Family Life. New York: Alfred A. Knopf. .
Humphries, Jane.
2012. Childhood and Child Labour in The British Industrial Revolution. Economic History Society.
van Klinken, Helene. 2014. Anak – anak Tim – Tim di Indonesia: Sebuah Cermin Masa Kelam. Jakarta:
KPG.
Mudji Sutrisno (ed). 2004. Hermeneutika Pascakolonial. Yogyakarta: Kanisius.
Michael Foucault. 2008. Ingin
Tahu: Sejarah Seksualitas – La Volonte de Savoir (Historie de la Sexualite,
tome I). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
One Comment
hakonpacione
Hotel Casino, Las Vegas – MapYRO
Hotel Casino, Las Vegas. MapYRO offers 2000 guest rooms and suites, 제천 출장샵 plus 문경 출장마사지 1,600 on-site and 계룡 출장마사지 on-site dining and 부산광역 출장안마 casino 경주 출장샵 space, near the Las Vegas Strip.