Perjalanan Sayah, Rasa
Oleh: Rizpat Anugrah
Jika Sayah berhenti
melakukan perjalanan Rasa,
melakukan perjalanan Rasa,
maka Rasa
telah mati dalam perasaan Sayah.
telah mati dalam perasaan Sayah.
Kemarin malam Sayah melakukan perjalanan yang pernah Rasa alami.
Perjalanan yang sangat disukai oleh Rasa. Perjalanan yang membuat siapapun yang
melakukannya merasa lebih dekat dengan langit dan begitu dekat dengan
keindahan. Tapi Sayah melakukan perjalanan itu sendiri, tanpa Rasa. Meski sosok Rasa tidak berada di sisinya,
tidak menyurutkan niat dan tekad Sayah untuk terus melanjutkan perjalanan. Sosok
Rasa sudah tertanam dalam perasaan dan pikirannya. Memotivasi Sayah untuk
terrus berjalan, seperti ada di sampingnya.
Perjalanan yang sangat disukai oleh Rasa. Perjalanan yang membuat siapapun yang
melakukannya merasa lebih dekat dengan langit dan begitu dekat dengan
keindahan. Tapi Sayah melakukan perjalanan itu sendiri, tanpa Rasa. Meski sosok Rasa tidak berada di sisinya,
tidak menyurutkan niat dan tekad Sayah untuk terus melanjutkan perjalanan. Sosok
Rasa sudah tertanam dalam perasaan dan pikirannya. Memotivasi Sayah untuk
terrus berjalan, seperti ada di sampingnya.
Menelusuri jalan setapak, menembus hutan di malam yang gelap, licin dan lembab. Membuat
Sayah sulit melangkah. Tapi Rasa mengiringi setiap langkah kaki yang diayunkan kaki kecil Sayah.
Seperti seorang balita baru belajar berjalan untuk pertama kali. Seolah-olah
ada penyanggah di belakang saat hendak terpelanting ke bawah. Seperti ada
dorongan untuk terus berjalan ke atas. Sampai Sayah
menyadari bahwa dia sedang berjalan di atas bumi, sedang berjalan di langit.
Jutaan lampu-lampu kota seperti lautan bintang di bawah kakinya. Terlebih dari
itu Sayah sadar bahwa dia sedang berada di tempat yang lebih dekat dengan bulan
sabit malam itu. Bahwa Sayah lebih dekat dengan langit pada malam itu, tepatnya
di Kelenteng Songo puncak Merbabu, malam minggu langit 14 September 2013 pukul
22.00 Jawa Tengah.
Sayah sulit melangkah. Tapi Rasa mengiringi setiap langkah kaki yang diayunkan kaki kecil Sayah.
Seperti seorang balita baru belajar berjalan untuk pertama kali. Seolah-olah
ada penyanggah di belakang saat hendak terpelanting ke bawah. Seperti ada
dorongan untuk terus berjalan ke atas. Sampai Sayah
menyadari bahwa dia sedang berjalan di atas bumi, sedang berjalan di langit.
Jutaan lampu-lampu kota seperti lautan bintang di bawah kakinya. Terlebih dari
itu Sayah sadar bahwa dia sedang berada di tempat yang lebih dekat dengan bulan
sabit malam itu. Bahwa Sayah lebih dekat dengan langit pada malam itu, tepatnya
di Kelenteng Songo puncak Merbabu, malam minggu langit 14 September 2013 pukul
22.00 Jawa Tengah.
Sampai saat itu adalah perjalanan terjauh yang Sayah tempuh dengan
berjalan kaki. Tapi ada yang lebih jauh dari perjalanan itu, yaitu perjalanan
rasa. Perjalanan membawa perasaan dan pikiran Sayah penuh. Penuh dengan gejolak
Rasa. Hasrat, dosa, ketakutan, cinta, Tuhan, dan Rasa.
berjalan kaki. Tapi ada yang lebih jauh dari perjalanan itu, yaitu perjalanan
rasa. Perjalanan membawa perasaan dan pikiran Sayah penuh. Penuh dengan gejolak
Rasa. Hasrat, dosa, ketakutan, cinta, Tuhan, dan Rasa.
***
Tiga tahun yang lalu, Yogyakarta, 7 September 2010. Saat Sayah
masih menjadi mahasiswa tingkat satu. Baru enam bulan Sayah tinggal di
Yogyakarta, tidak memahami apa-apa tentang kota itu selain kota pelajar. Kota
pemikir, kota para perkumpulan pergerakan nasional dulu lahir. Budi Utomo (BU),
Muhammadiyah, Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI). Studi Sejarah Fakultas
Ilmu Sosial dan Ekonomi menjadi pilihanya di Kampus Biru Yogyakarta.
masih menjadi mahasiswa tingkat satu. Baru enam bulan Sayah tinggal di
Yogyakarta, tidak memahami apa-apa tentang kota itu selain kota pelajar. Kota
pemikir, kota para perkumpulan pergerakan nasional dulu lahir. Budi Utomo (BU),
Muhammadiyah, Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI). Studi Sejarah Fakultas
Ilmu Sosial dan Ekonomi menjadi pilihanya di Kampus Biru Yogyakarta.
Sayah tidak pernah mempercayakan dirinya pada siapa pun. Di Jogja dia tinggal sendiri dan menyewa
satu kamar kos khusus putri yang dekat dengan kampusnya. Latar belakang
keluarga yang islami tidak membebaskannya memilih kamar kos yang bebas, boleh
dimasuki tamu laki-laki.
satu kamar kos khusus putri yang dekat dengan kampusnya. Latar belakang
keluarga yang islami tidak membebaskannya memilih kamar kos yang bebas, boleh
dimasuki tamu laki-laki.
Selama tinggal di Jogja bahkan Sayah tidak pernah keluar bersama
seorang laki-laki. Tubuh mungilnya dihiasi balutan busana muslim yang masih terlihat modern ala
orang Sunda, yang bisa memadu padankan apa pun yang mereka pakai meski dengan penutup
kepala. Sayah banyak berubah setelah masuk dan mengenal dunia
Jurnalistik. Pemikirannya lebih kritis terhadap lingkungan sekitarnya dan pikirannya lebih terbuka, sehingga dia mulai meninggalkan rok panjangnya
diganti dengan celana.
seorang laki-laki. Tubuh mungilnya dihiasi balutan busana muslim yang masih terlihat modern ala
orang Sunda, yang bisa memadu padankan apa pun yang mereka pakai meski dengan penutup
kepala. Sayah banyak berubah setelah masuk dan mengenal dunia
Jurnalistik. Pemikirannya lebih kritis terhadap lingkungan sekitarnya dan pikirannya lebih terbuka, sehingga dia mulai meninggalkan rok panjangnya
diganti dengan celana.
Perjalanan yang Sayah percayakan pada satu orang untuk pertama
kalinya. Perjalanan bersama Rasa, seorang teman satu Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) di Kampus Biru Yogyakarta. Sayah dan Rasa sudah dekat selama hampir satu
tahun. Itu karena Rasa yang paling sering menemani Sayah berdiskusi tentang
sejarah budaya agama di Yogyakarta. Kota yang selalu ingin Sayah gali segala kultural dan pluralis yang
ada di sana.
kalinya. Perjalanan bersama Rasa, seorang teman satu Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) di Kampus Biru Yogyakarta. Sayah dan Rasa sudah dekat selama hampir satu
tahun. Itu karena Rasa yang paling sering menemani Sayah berdiskusi tentang
sejarah budaya agama di Yogyakarta. Kota yang selalu ingin Sayah gali segala kultural dan pluralis yang
ada di sana.
Awalnya hanya makan malam biasa, di salah satu kafe yang berada
di daerah jalan Sudirman, Yogyakarta. Dengan posisi duduk berhadapan dihalangi
oleh meja makan di tengah-tengahnya.
Lampu berwarna putih tepat di atas tempat duduk Sayah. Lampu yang dilapis dari
rotan. Suasana kafe yang ramai di
malam minggu itu tidak bisa membuyarkan konentrasi Sayah kepada sosok laki-laki
di hadapannya. Umurnya yang tiga tahun lebih tua dari Sayah memperlihatkan
tanda kedewasaan seorang laki-laki berumur 21 tahun, dengan jakun yang menonjol, pundak yang bidang, kulit muka yang kencang, urat-urat yang nampak memperlihatkan tangan yang kokoh.
Dikeramaian kafe malam itu, para pengunjung yang
sedang asyik bercengkrama dengan teman-temannya. para pelayan yang sibuk
melayani, mengantar dan mengambil pesanan para pelanggan kafe.
di daerah jalan Sudirman, Yogyakarta. Dengan posisi duduk berhadapan dihalangi
oleh meja makan di tengah-tengahnya.
Lampu berwarna putih tepat di atas tempat duduk Sayah. Lampu yang dilapis dari
rotan. Suasana kafe yang ramai di
malam minggu itu tidak bisa membuyarkan konentrasi Sayah kepada sosok laki-laki
di hadapannya. Umurnya yang tiga tahun lebih tua dari Sayah memperlihatkan
tanda kedewasaan seorang laki-laki berumur 21 tahun, dengan jakun yang menonjol, pundak yang bidang, kulit muka yang kencang, urat-urat yang nampak memperlihatkan tangan yang kokoh.
Dikeramaian kafe malam itu, para pengunjung yang
sedang asyik bercengkrama dengan teman-temannya. para pelayan yang sibuk
melayani, mengantar dan mengambil pesanan para pelanggan kafe.
Namun ada pertanyaan yang begitu yakin dan berani dari keluar dari
mulutnya, seseorang di hadapan Sayah. Seolah-olah
keramaian di café itu raib, aktifitasnya
berlangsung tanpa suara. “habis ini
bagaimana kalau kita ke pantai?” pertanyaan yang langsung mengalihkan perhatian
Sayah kepada satu objek. Mata mereka saling bertemu. Sayah hanya mengangguk
dengan senyum yang melesat dari bibir tipisnya.
mulutnya, seseorang di hadapan Sayah. Seolah-olah
keramaian di café itu raib, aktifitasnya
berlangsung tanpa suara. “habis ini
bagaimana kalau kita ke pantai?” pertanyaan yang langsung mengalihkan perhatian
Sayah kepada satu objek. Mata mereka saling bertemu. Sayah hanya mengangguk
dengan senyum yang melesat dari bibir tipisnya.
Tidak berlama-lama setelah selesai makan mereka langsung pergi ke tempat
lain. Rasa membawanya pergi ke suatu tempat untuk melihat barang pesanannya
pada seorang penjual langganan
di daerah Godean. Tempat yang tidak asing buat Sayah, karena pernah satu kali
bersama teman kelasnya ke sana. Namun tempat itu membuat Sayah terasing.
Tidak ada objek yang bisa Sayah tangkap
di tempat itu. Banyak sekali barang-barang di tempat itu. Mulai dari
barang-barang yang Sayah kenali sampai
yang tidak diketahui fungsinya apa.
lain. Rasa membawanya pergi ke suatu tempat untuk melihat barang pesanannya
pada seorang penjual langganan
di daerah Godean. Tempat yang tidak asing buat Sayah, karena pernah satu kali
bersama teman kelasnya ke sana. Namun tempat itu membuat Sayah terasing.
Tidak ada objek yang bisa Sayah tangkap
di tempat itu. Banyak sekali barang-barang di tempat itu. Mulai dari
barang-barang yang Sayah kenali sampai
yang tidak diketahui fungsinya apa.
Sayah terasingkan di tempat itu. Satu-satu yang membuatnya ada adalah
Rasa, orang di sampingnya.
Sejak dari pertama mereka datang ke tempat itu yang Sayah terus berpegangan
pada ujung jaket Rasa. Dia yang menjelaskan apa-apa yang ada di tempat itu.
Jenis-jenis benda yang dia kuasai. Seperti pemilik toko menjelaskan barang-barang
dagangan kepada pembelinya. Bahkan lebih dari itu. Dia tahu sejarahnya. Wawasan
dan pengetahuannya tentang berbagai hal memperlihatkan banyak yang di baca dan pelajari, terlebih sejarah yang bukan
bagian dari disiplin ilmu yang Rasa geluti, yaitu Teknik.
Rasa, orang di sampingnya.
Sejak dari pertama mereka datang ke tempat itu yang Sayah terus berpegangan
pada ujung jaket Rasa. Dia yang menjelaskan apa-apa yang ada di tempat itu.
Jenis-jenis benda yang dia kuasai. Seperti pemilik toko menjelaskan barang-barang
dagangan kepada pembelinya. Bahkan lebih dari itu. Dia tahu sejarahnya. Wawasan
dan pengetahuannya tentang berbagai hal memperlihatkan banyak yang di baca dan pelajari, terlebih sejarah yang bukan
bagian dari disiplin ilmu yang Rasa geluti, yaitu Teknik.
Mereka sama sekali berbeda, meski keduanya pernah sama-sama belajar
di pondok pesantren tapi idologi mereka berbeda. Sayah adalah perempuan yang
taat. Kepada Tuhan, agama, orang tua, dan apapun yang dia yakini. Maka jika
berdiskusi dengannya tentang apa yang dia yakini semua orang pasti harus
mengiyakan dulu baru dia berhenti untuk bicara. Sementara Rasa lebih tenang dan
dewasa. Satu kata untuk mendeskripsikan tentangnya adalah seperti Berhala. Ya,
patung yang di puja. Karena meskipun keras, kaku, esensinya diakui. Apa yang
keluar dari mulutnya seperti sabda Tuhan yang harus diamini. Pragmatis!
di pondok pesantren tapi idologi mereka berbeda. Sayah adalah perempuan yang
taat. Kepada Tuhan, agama, orang tua, dan apapun yang dia yakini. Maka jika
berdiskusi dengannya tentang apa yang dia yakini semua orang pasti harus
mengiyakan dulu baru dia berhenti untuk bicara. Sementara Rasa lebih tenang dan
dewasa. Satu kata untuk mendeskripsikan tentangnya adalah seperti Berhala. Ya,
patung yang di puja. Karena meskipun keras, kaku, esensinya diakui. Apa yang
keluar dari mulutnya seperti sabda Tuhan yang harus diamini. Pragmatis!
Malam hari itu sangat dingin, entah berapa celcius suhu Jogja pada malam hari itu, yang jelas
dingin yang menembus tiap pori-pori tubuh mereka seperti ribuan jarum yang
menusuk. Sakit.
dingin yang menembus tiap pori-pori tubuh mereka seperti ribuan jarum yang
menusuk. Sakit.
Perjalanan menuju pantai begitu lama dan panjang karena kami hanya
saling membisu. Setelah Sayah rekatkan tubuhnya kepada tubuh Rasa saat
diperjalanan menggunakan sepedah motor. Perjalanan itu begitu panjang. Karena
tidak ada obrolan mereka semakin
membatu.
saling membisu. Setelah Sayah rekatkan tubuhnya kepada tubuh Rasa saat
diperjalanan menggunakan sepedah motor. Perjalanan itu begitu panjang. Karena
tidak ada obrolan mereka semakin
membatu.
Setelah sampai di tujuan, pantai Parang Tritis, di daerah Bantul.
Suasana masih seperti di perjalanan. Mereka masih kaku.
Suasana masih seperti di perjalanan. Mereka masih kaku.
Saat Sayah memegangi ujung jaket
Rasa seperti yang dilakukannya di toko. Tiba-tiba dengan cepat tangan kiri Rasa
menarik tangan Sayah. Mendekat tubuhnya. Sementara tangan kanannya menarik
pinggang Sayah. Sehingga tubuh kami berdua berdekapan dan Sayah hanya diam
mematung. Setelah itu dia menengadahkan kepala Sayah sehingga Rasa bisa mencium
Sayah. Bibir yang belum pernah terjamah laki-laki
sebelumnya. Lagi-lagi Sayah hanya mematung. Setelah beberapa detik, Rasa menghentikan ciuman yang sejenak mencekik leher Sayah.
Rasa seperti yang dilakukannya di toko. Tiba-tiba dengan cepat tangan kiri Rasa
menarik tangan Sayah. Mendekat tubuhnya. Sementara tangan kanannya menarik
pinggang Sayah. Sehingga tubuh kami berdua berdekapan dan Sayah hanya diam
mematung. Setelah itu dia menengadahkan kepala Sayah sehingga Rasa bisa mencium
Sayah. Bibir yang belum pernah terjamah laki-laki
sebelumnya. Lagi-lagi Sayah hanya mematung. Setelah beberapa detik, Rasa menghentikan ciuman yang sejenak mencekik leher Sayah.
Sayah tidak tahu kesadaran apa yang membuatnya membalas menararik kerah
jaket Rasa dan menempelkan bibirnya dengan bibir Rasa. Tubuh mereka berdua
menempel. Selanjutnya tidak hanya menempel dan berciuman. Tapi satu persatu
pakaian mereka lucuti. Mereka berayun, terombang-ambing begitu lentur dan
natural. Mereka terombang ambing seperti ombak di lautan. Hingga akhirnya mereka
sama-sama terbaring dipinggir pantai tanpa sehelai kain menempel pada tubuh mereka
berdua.
jaket Rasa dan menempelkan bibirnya dengan bibir Rasa. Tubuh mereka berdua
menempel. Selanjutnya tidak hanya menempel dan berciuman. Tapi satu persatu
pakaian mereka lucuti. Mereka berayun, terombang-ambing begitu lentur dan
natural. Mereka terombang ambing seperti ombak di lautan. Hingga akhirnya mereka
sama-sama terbaring dipinggir pantai tanpa sehelai kain menempel pada tubuh mereka
berdua.
Setelah mereka berpakaian dan sama-sama duduk menghadap laut. Sayah
bertanya “apakah kita sadar melakukan ini?” tanpa melihat ke arah Rasa dan
terus memandangi laut. “tentu saja,” jawabnya masih dengan melihat ke arah laut. “Bagaimana dengan Tuhan?” Tanya
Sayah lagi sekarang sambil menatap Rasa di sebelahnya. “biarlah apa yang kita
lakukan sekarang kita bertiga yang mengetahuinya. Kamu, aku, dan Tuhan.” Jawab
Rasa sambil menari kepala Sayah dan mencium bibirnya, ciuman yang begitu lama,
hidmat, jauh begitu khusyu’ melebihi sujud mereka saat
beribadah.
bertanya “apakah kita sadar melakukan ini?” tanpa melihat ke arah Rasa dan
terus memandangi laut. “tentu saja,” jawabnya masih dengan melihat ke arah laut. “Bagaimana dengan Tuhan?” Tanya
Sayah lagi sekarang sambil menatap Rasa di sebelahnya. “biarlah apa yang kita
lakukan sekarang kita bertiga yang mengetahuinya. Kamu, aku, dan Tuhan.” Jawab
Rasa sambil menari kepala Sayah dan mencium bibirnya, ciuman yang begitu lama,
hidmat, jauh begitu khusyu’ melebihi sujud mereka saat
beribadah.
***
Yogyakarta, 16 September 2013 setelah kepulangan Sayah dari
Merbabu. Tepatnya tiga tahun setelah Rasa meninggalkannya. Meninggalkannya
tanpa kabar dan pesan. Setelah kepulangannya dari Pantai tiga tahun lalu, Rasa
menghilang tanpa pesan. Tanpa kabar. Namun Rasa tetap ada dalam diri Sayah. Sayah
akan tetap memilih Rasa. Dia meyakini bahwa jarang yang entah terbatas oleh
apapun akan melanggengkan cinta pada kekasihnya, Rasa.
Merbabu. Tepatnya tiga tahun setelah Rasa meninggalkannya. Meninggalkannya
tanpa kabar dan pesan. Setelah kepulangannya dari Pantai tiga tahun lalu, Rasa
menghilang tanpa pesan. Tanpa kabar. Namun Rasa tetap ada dalam diri Sayah. Sayah
akan tetap memilih Rasa. Dia meyakini bahwa jarang yang entah terbatas oleh
apapun akan melanggengkan cinta pada kekasihnya, Rasa.
***
Rasa adalah keturunan dari Soenarto seoarang Paranpara
(penasihat) paguyuban Pangestu atau sebuah paguyuban kebatinan di
Yogyakarta sejak tahun 1954. Paguyuban itu masih eksis sampai sekarang. Rasa
adalah penerus dari Soenarto kakek kandungnya.
(penasihat) paguyuban Pangestu atau sebuah paguyuban kebatinan di
Yogyakarta sejak tahun 1954. Paguyuban itu masih eksis sampai sekarang. Rasa
adalah penerus dari Soenarto kakek kandungnya.
Sebelum Rasa dan Sayah pergi ke pantai malam itu. Rasa sudah diberi
tahukan ayahnya bahwa Rasa akan menjadi generasi selanjutnya setelah ayahnya. Harus
meninggalkan semuanya. Hasrat, kesenangan, cintanya yang bersifat duniawi, dan
mengkosongkan batinnya dari apa pun.
tahukan ayahnya bahwa Rasa akan menjadi generasi selanjutnya setelah ayahnya. Harus
meninggalkan semuanya. Hasrat, kesenangan, cintanya yang bersifat duniawi, dan
mengkosongkan batinnya dari apa pun.
Dan sebelum Sayah memasuki kamar kosnya, tiga tahun yang lalu saat
Rasa mengantarnya sepulang perjalanan mereka dari pantai. Rasa berkata “Aku
akan selalu ada dalam rasamu. Hanya akan berhenti saat kau mati dan rasamu ikut
mati.” Tutur Rasa sambil memegani tangan Sayah dan menatamnya. Seperti
membacakan mantra. Karena setelahnya hanya ada Rasa dalam bola matanya. Rasa
yang tidak kembali setelah itu. Tapi Sayah masih melakukan perjalanannya
bersama Rasa. Dalam hati dan pikirannya.
Rasa mengantarnya sepulang perjalanan mereka dari pantai. Rasa berkata “Aku
akan selalu ada dalam rasamu. Hanya akan berhenti saat kau mati dan rasamu ikut
mati.” Tutur Rasa sambil memegani tangan Sayah dan menatamnya. Seperti
membacakan mantra. Karena setelahnya hanya ada Rasa dalam bola matanya. Rasa
yang tidak kembali setelah itu. Tapi Sayah masih melakukan perjalanannya
bersama Rasa. Dalam hati dan pikirannya.