Sastra

Ketika Sejarah Tak Lagi Hitam Putih

Namanya Anya, gadis remaja yang menyukai sejarah Eropa. Buku-buku tebal bersampul pudar memenuhi rak di kamarnya. Ia membayangkan dunia seperti lembaran buku-buku sejarah Eropa yang dibacanya. Megah, Indah, dan penuh petualangan. Itulah sebabnya, tanpa ragu saat lulus SMA, Anya memilih jurusan Sejarah. Ia membayangkan hari-harinya akan diisi dengan belajar tentang kastil, revolusi dan kejatuhan kekaisaran-kekaisaran besar. Namun, realita tak seindah ekspektasi itu nyata.

Alih-alih membahas perjanjian Versailles atau Vienna, Anya dihadapkan dengan silabus yang penuh dengan “Pengantar Sejarah Indonesia”, “Metodologi Kritik Sumber Sejarah”, dan yang paling membuatnya mengeluh “Sejarah Indonesia Masa Kolonial dan Modern”. Ia mengerutkan kening tiap kali dosen menyebutkan nama tokoh nasional yang dulu hanya sekilas ia hafalkan demi ujian. Dan yang paling membuat Anya frustasi ialah hampir semua pembahasan berakhir pada analisis politik. Anya mulai merasa salah jurusan.

Lebih parah lagi, dalam setiap diskusi kelas, Riki, teman satu sekolah Anya dan kini menjadi teman sekelasnya turut memberikan tekanan batin untuknya. Pasalnya, Riki merupakan mahasiswa lintas jurusan yang selalu tampak mendominasi diskusi. Riki terbiasa menganalisis politik, mendebatkan motif di balik setiap peristiwa, dan mengaitkan teori politik dengan peristiwa sejarah atau menghubungkan teori politik global dengan konteks sosial. Sementara Anya, mengandalkan hafalan dan cerita romantis masa lalu. Ia merasa tercekat, tenggelam dalam lautan yang seolah membunuh kecintaannya pada sejarah.

Setelah kelasnya selesai, Anya pergi ke pendopo dekat taman kampus untuk menyelesaikan tugasnya.

“Kenapa sih hampir semua tugas berakhir ke politik Indonesia?”ucap Anya, ketika melihat layar laptopnya menampilkan judul Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, seolah mengejek idealisme dalam dirinya.

“Kenapa juga semua orang di jurusan ini kayak ahli politik? Apalagi si Riki itu” gerutunya. “Aku kan mau belajar sejarah, bukan jadi politikus,” keluh Anya.

Riki yang tidak sengaja mendengar namanya disebut, kemudian mendekati gadis itu.

“Ngeluh mulu perasaan, kapan selesainya,” ucapnya saat sudah berada di hadapan Anya.

Anya melirik sekilas pada manusia di depannya itu dan tetap diam mencoba fokus pada layar yang terus bersinar dihadapannya. Riki yang tidak kunjung mendapatkan respon kemudian menyesap kopi yang dibawanya tadi lalu mengalihkan fokusnya pada layar ponselnya.

“Jujur aku sebel banget sama kamu,” kata Anya tiba-tiba, membuat Riki menoleh padanya.

“Oh? Kenapa”jawabnya

“Soalnya kamu selalu tau semua hal, apalagi tentang politik. Bikin aku ngerasa bodoh”

Riki tersenyum, menaruh ponselnya. “Kamu tuh paham, Yaya,” katanya santai. “Kamu cuman pakai pendekatan yang beda. Aku terbiasa membaca pola dan struktur. Tapi kamu paham narasi. Enggak semua orang bisa,”

“Tapi aku lebih suka cerita-cerita Eropa. Sejarah Indonesia tuh… terlalu berat. Rasanya rumit, sulit untuk dimengerti,”

Riki tertawa kecil, “Kenapa engga kamu coba pakai pendekatan yang kamu lakuin untuk sejarah Eropa ke sejarah Indonesia. Siapa tau dengan cara pemahaman yang kamu kuasai, bisa mengubah pandanganmu tentang sejarah Indonesia,”

Anya merenungi setiap kata yang di ucapkan Riki padanya. Hingga suatu hari, ada seminar yang diharuskan oleh mahasiswa sejarah. Seminar tersebut mendatangkan alumni bernama Nimas, seorang peneliti sejarah sosial-politik. Anya datang keseminar itu karena adanya wajib mengisi daftar hadir. Ia tidak berekspetasi lebih dan hanya menggapnya sebagai formalitas saja. Tapi kemudian perkataan Nimas menarik atensinya.

“Saya dulu sangat suka sejarah Eropa, saya dulu tidak tertarik dengan konflik dalam negeri. Tapi kemudian saya tersadarkan, sejarah tidak hanya milik barat saja. Sejarah tentang bagaimana manusia memilih, bertahan, dan mengubah dunia sekitarnya. Kalau mau memahami dunia, kita harus mulai dari tanah tempat kita berdiri,”

Kalimat itu seperti melekat dikepala Anya. Cerita Nimas sangat mirip pada dirinya saat ini. Ia kagum pada Nimas yang menyukai sejarah Eropa tapi kemudian menemukan cinta di sejarah Indonesia. Anya juga ingin merasakan itu.

Sampai suatu malam, Anya sedang menganalisis tugas tentang Reformasi 1998. Ia kemudian teringat pada revolusi Perancis yang berisi tentang rakyat bangkit dan juga berisi raja diturunkan dari tahktanya. Bukankah peristiwa itu mirip dengan yang sedang dibacanya ini? Dan peristiwa yang sedang dibacanya ini terjadi di negerinya sendiri?

Kemudian Anya membaca ulang, ia mencari pola yang sama antara revolusi di Prancis dan gerakan reformasi di Indonesia. Ia membaca tentang bagaimana rakyat membangun kekuatan untuk melawan kekuasaan yang korup itu. Tentang kekuasaan yang melawan dan tentang harapan yang direbut serta dikhianati.

Anya teringat pada perkataan Riki tempo hari lalu dan mulai memahami maksud perkataan pria itu. Anya mulai melihat sejarah Indonesia bukan sebagai sejarah yang membosankan lagi, tapi sebagai bagian dari pola sejarah Eropa yang ia selalu kagumi, yaitu pertarungan manusia melawan ketidakadilan.

Beberapa hari kemudian, di perpustakaan. Anya duduk di seberang Riki yang saat itu sedang fokus pada layar laptop di depannya.

Anya terdiam sejenak, Lalu berkata, “Aku baru sadar, sejarah Indonesia nggak kalah kompleks dari sejarah Eropa… revolusi Prancis itu kan bukan cuma tentang rakyat lapar yang marah, tapi juga penghianatan bahkan propaganda. Sama kayak Reformasi di Indonesia, ada mimpi tapi juga ada yang dimanipulasi,”

Riki melirik dan kemudian tersenyum,“Akhirnya sadar juga, dari dulu aku kagum cara kamu melihat cerita sejarah, kamu buat sejarah politik jadi punya sisi manusia… dan kamu bilang kamu nggak ngerti politik,”

Anya tersenyum kecil,“Aku ngga ngerti politik karena aku nggak suka. Tapi sekarang aku sadar, sejarah tanpa politik itu kayak naskah ga ada konflik. Bikin bosen,”

Riki berpikir sejenak,“Kamu tau? Pendekatan kamu itu menarik. Kamu paham cerita dan aku paham struktur. Mungkin kita bisa saling belajar,”

“Serius? Kamu mau jadi temen diskusi ku?” tanya Anya

“Iya, itupun kalo kamu ga keberatan kalah argumen sekali-kali,” Jawab Riki dengan alis yang terangkat.

“Tapi jangan bosen ya kalo aku sebut Napoleon tiap kita diskusi,”

Riki tertawa,“Asal kamu mau nyebut Tan Malaka sesekali, kita damai.”

Mereka tertawa. Pertama kalinya Anya tak merasa kecil di tengah sejarah bangsanya. Mereka mulai sering berdiskusi sejak itu. Riki membantu Anya memahami struktur politik dan Anya dengan cermat merangkai cerita, membuat pembahasan sejarah menjadi hidup. Seperti Nimas, Anya mulai belajar melihat sejarah bukan sebagai hitam dan putih melainkan sebagai warna yang terus bergerak.

Akhirnya, Anya berdamai, tidak hanya dengan sejarah tetapi juga dirinya sendiri.

Penulis: Serly C. Amalia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *