Sepak Bola, Ultras, dan Senjata Politik
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya sepakbola
merupakan olahraga paling popular di muka bumi. Banyak cerita yang tersaji di
dalam lapangan maupun diluar lapangan. Intrik di dalam lapangan kini meluas
hingga luar lapangan. Mulai cerita mengenai budaya, sosial, ekonomi, hingga
politik serta ideologi para supporter yang mengatasnamakan sebagai Ultras.
merupakan olahraga paling popular di muka bumi. Banyak cerita yang tersaji di
dalam lapangan maupun diluar lapangan. Intrik di dalam lapangan kini meluas
hingga luar lapangan. Mulai cerita mengenai budaya, sosial, ekonomi, hingga
politik serta ideologi para supporter yang mengatasnamakan sebagai Ultras.
Ultras merupakan supporter yang
memiliki daya militan dan fanatisme lebih dari supporter pada umumnya. Ultras
yang berarti ‘Di luar kebiasaan’ dalam bahasa latin, menjadi pelopor supporter
terorganisir yang datang untuk mendukung timnya. Maka muncul stigma bahwa
supporter (Ultras) adalah pemain ke dua belas.
memiliki daya militan dan fanatisme lebih dari supporter pada umumnya. Ultras
yang berarti ‘Di luar kebiasaan’ dalam bahasa latin, menjadi pelopor supporter
terorganisir yang datang untuk mendukung timnya. Maka muncul stigma bahwa
supporter (Ultras) adalah pemain ke dua belas.
“As an ultra I identify myself with a
particular way of life. We are different from ordinary supporters because of
our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering
much more acutely than everybody else”.
Kutipan kalimat dari salah satu
anggota Brigate Rossonere—Ultras AC
Milan, membantu memahami perbedaan Ultras dengan supporter pada umumnya. Mereka tidak pernah berhenti meneriakkan
yel-yel pembangkit semangat selama pertandingan berlangsung. Para ultras sering
mencuri perhatian lewat aksi koreografi, Giant
Flag, hingga Flare dan petasan. Bahkan mereka memulai aksinya sejak diluar
pertandingan dengan melakukan Corteo
atau berjalan dari markas umumnya
dari bar mereka ke Stadion bersama-sama dengan
terus bernyanyi.
Ultras pertama kali muncul di Italia
pada tahun 1968, dengan nama Fossa dei
Leoni, salah satu kelompok supporter AC Milan. Aksi demonstrasi-demonstrasi
yang dilakukan anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia
1960-an mengilhami munculnya Ultras. Fenomena tersebut menjadikan Ultras tumbuh
subur di Italia. Maka, hakikat ultras merupakan simpati politik juga
representatif ideologi.
Setiap Ultras dipercaya memiliki
ideologi serta aliran politik yang beragam, meskipun mereka mendukung klub yang
sama. Ultras memiliki andil dalam menyebaran wacana dan pelestarian paham-paham
ideologi, seperti Fasisme, Komunisme, Sosialisme. Misalnya di Italia, Ultras Lazio
yang dikenal dengan Irruducibli yang
memiliki paham Ultra Nasional (neo Fasisme) bersebrangan dengan Ultras Livorno yang bernama Brigate Autonome Livornesi yang menganut
paham komunisme. Tidak jarang ketegangan-ketgangan terjadi antar ultras,
meskipun mendukung klub yang sama. Hal ini disebabkan perbedaan ideologi yang
diusung setiap Ultras.
Dewasa ini, stigma buruk menghujam
para Ultras. Namun pada realitas sungguh berbeda. Nyinyiran merajam Ultras yang dianggap memiliki jiwa
apolitis. Namun jika kita menelisik akan kebenaran hal tersebut sangat
berlainan. Hosni Mubarak dan Mohammad Mosri
sempat merasakan sikap politik ultras Mesir ketika keluar ‘cangkang’. Bermodal
kekesalan terhadap pemerintahan, mereka menurunkan Hosni Mubarok dan Mohammad
Morsri dalam kurun waktu dua tahun.
Fenomena Ultras di negeri ‘Firaun’ bisa dibilang masih berumur jagung.
Ultras di Mesir baru muncul di tahun 2007 yang merupakan pelarian dari tidak
adanya partai oposisi yang mampu menyuarakan hak rakyat. “Satu-satunya katup
rilis dimana orang bisa mengekspresikan diri adalah Ikhwanul Muslimin di
masjid, dan Ultras di
Stadion Sepakbola.” Sebuah anekdot yang muncul ketika rezim Husni Mubarok
ditumbangkan oleh Ultras.
Hal serupa juga terjadi di Ukraina.
Sikap turun jalan yang dilakukan Ultras sangat dinantikan. Kebiasaan pengorganisaran massa di stadion ditularkan massa
aksi jalanan. Bahkan Ultras dinilai memiliki jam terbang untuk chaos terbuka dengan aparat. Sehingga
menimbulkan rasa aman bagi massa aksi non Ultras. Di Ukraina, Ultras sempat
menjadi momok yang menakutkan ketika Ukraina menjadi tuan rumah piala Eropa
2012.
Perang dingin telah usai, dan blok
kapitalisme barat menjadi pemenang. Namun hal itu menjadi sebuah retorika
belaka di Ukraina. Malah disana menjadi garda terdepan peperangan dua
ideologi hingga sekarang. Hal ini dapat
dilihat dari ideologi yang dianut oleh Ultras disana. Klub Ukraina Barat semisal Dynamo Kiev yang lebih
pro-barat, sebaliknya di Ukraina Timur; Matalish Kharkiv, Shaktar Donetsk yang
lebih pro-Rusia (komunisme).
Genderang perang ditabuh Ultras Dinamo
Kiev yang bernama Kyivans pada tanggal 21 Januari 2014. Mereka siap untuk perang dengan pemerintah,
sebagai bentuk protes terhadap tindakan represifitas pemerintah saat berusaha
membubarkan paksa barisan demonstran. Secara gamblang mereka menyatakan bakal
mengkordinasi massa aksi. Hal itu juga di dorong oleh pemerintah
yang sengaja merekrut kelompok Ultras
Metalist Kharkiv yang bernama Titushky. Para anggota Titushky-lah yang
menyerang para demonstran. Hingga
akhinya perang antar Ultras di Ukraina tidak dapat dihindarkan.
Kyivans mendapat dukungan dari ultras
lain, antara lain; Ultras
Crimea dan Simferopol. Dukungan ini tak lain akibat sikap pemerintah yang
menggunakan Titushky untuk meyerang sipil ialah kesalahan yang besar, pun
mereka membangun citra bahwasanya Ultras bukan gangster yang bisa dibeli untuk
melindungi rezim tertentu. Sejenak para Ultras tersebut melupakan rivalitas di
dalam lapangan.
***
Ultras di Mesir dan Ukraina hanya
sebagian kecil sikap politik mereka. Tapi politik mereka bukanlah politik
praktis yang mengejar kekuasaan hingga materi yang mau menggadaikan harga diri
kelompok mereka pada rezim penguasa. Politik mereka ialah politik keberpihakan pada mereka yang ditindas oleh kekuasaan.
sebagian kecil sikap politik mereka. Tapi politik mereka bukanlah politik
praktis yang mengejar kekuasaan hingga materi yang mau menggadaikan harga diri
kelompok mereka pada rezim penguasa. Politik mereka ialah politik keberpihakan pada mereka yang ditindas oleh kekuasaan.
Hal serupa juga sedang menjamur di
Indonesia. Sikap ini tergambar melalui bendera-bendera yang Ultras Indonsia
kibarkan. Seperti Utras Persija Jakarta yang menuliskan “TOL(A)K P(A)BRIK SEMEN
#KENDENGLESTARI”. Atau yang dituliskan oleh Ultras Persikap Pekalongan “SAVE
KENDENG”. Meski hanya lewat tulisan di bendera, namun sikap ini mencerminkan
bahwa mereka tidak melulu mengenai sepak bola semata.