Kasus yang terjadi Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah (HMIS) sekitar bulan lalu, memberi sebuah pemikiran ulang bagaimana menyikapi kasus pelecehan seksual (PS). Perspektif yang dihadirkan oleh abang Suden, abang Ahmad, dan abang Ganta menghidupkan kembali geliat penanganan kasus yang terjadi di sekitar kampus. Mereka menunjukan keberanian, dengan menggunakan pribadi mereka untuk berpendapat, tanpa anonim. Pemikiran dan konsep yang dilontarkan sama-sama baik, walau memang setiap orang memiliki subjektif sendiri.
Terima kasih yang harus
saya ucapkan pada rekan-rekan penulis. Saran dan kritik yang diberikan pada
HMIS dapat membuat HMIS semakin belajar dan lebih baik. Mungkin dari para
penulis sendiri, memahami bagaimana belum kuatnya aturan dan penanganan dari
kasus pelecehan di lingkungan himpunan, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan Dewan
Perwakilan Mahasiswa. Seperti yang dikatakan Suden, “...agar isu KS yang
sama-sama kita kawal ini dilandaskan atas nama cinta terhadap kemanusiaan.
Tabik!” semoga pandangan pembaca mengilhami apa yang Suden utarakan, atas nama
cinta pada kemanusiaan!
Pernyataan HMIS, bukan
lipstik ataupun obat tidur.
Pertama, artikel Suden
yang terbit di laman ekspresi Online memberi tanggapan terkait pemecatan
pengurus HMIS. Tanggapan yang cukup menarik dan bagi saya membuka perspektif
baru dalam penanganan kasus pelecehan seksual. Dari yang saya tangkap, apakah pemecatan
pengurus adalah hal yang bijak pada saat itu? Jawaban dari pertanyaan ini saya
serahkan kepada Raflisyah selaku ketua Himpunan.
Hasil yang saya dapatkan,
bahwa pemecatan pengurus sudah dipikirkan matang-matang. “Konsultasi pada dospem
yang bertanggung jawab pada himpunan dan membicarakan terkait pengeluaran
pelaku dengan korban serta hukuman yang akan dikeluarkan oleh himpunan sudah melalui
pembicaraan” kata Rafli saat saya temui pada 21 Juni 2022.
Pernyataan yang
dikeluarkan oleh himpunan bukan sekedar obat tidur, tapi transparansi dalam
penyelesaian kasus yang terjadi. Jika oleh abang Suden, dikatakan sebagai
populis maka saya akan bilang “Ya”. Populis yang bagi saya dalam arti positif. Demikian
saya katakan, untuk memberikan informasi bahwa HMIS menolak adanya tindak
pelecehan seksual.
Poin yang saya tangkap
dari artikel Suden adalah HMIS mengikuti pola-pola yang telah terjadi di
organisasi luar yang terdapat kasus pelecehan. Adapun yang saya dapatkan dari
informasi Rafli, adakah cara penyelesaian yang berbeda dan progresif? Sepertinya
pola yang seperti ini sudah dilakukan oleh beberapa organisasi di luar.
Adakah hal yang lebih
baik dari pemecetan pengurus? Saya sadar, bahwa bacaan yang kami gunakan dengan
berbagai teori sosial masyarakat, kaum bawah, dan terkhusus mengenai pelecehan
tidak banyak. Jika ada yang lebih baik, mungkin akan membuka suatu arah baru yang
progresif dalam penanganan pelaku PS. Menarik menanti tulisan abang Ray. “Saya
tunggu ya bang”
Apakah pernyataan ini
sepantasnya dipublikasikan di ruang publik? Masing-masing pribadi pasti
memiliki pandangan masing-masing. Seperti pandangan dari abang Suden, Ahmad,
Ganta, Ray, dan Gilang. Kita dapat memilih untuk berpedoman dengan pandangan siapa.
Kaum spill dan
gogon dalam lingkungan sekitar.
Jiwa manusia bagi saya
selalu ingin tahu. Seperti sudah sifat manusiawi dari setiap orang. Rasa keinginan
untuk tahu inilah yang bagi saya memiliki tujuan untuk arah baik atau arah
buruk. Dalam perspektif kasus PS, banyak yang ingin mengetahui siapa korban dan
siapa pelaku.
Mereka (kaum spill dan
gogon) ingin mendapatkan informasi secara haus. Seperti yang telah
dikatakan oleh abang-abang saya ini, entah untuk mencukupi nafsu pribadi atau
sekedar ingin tahu untuk berjaga jarak. Bagi yang tidak mengerti apa itu “gogon”
merupakan akronim dari “gosip underground”. Gogon inilah yang membuat
jiwa ingin tahu dan penasaran semakin bertumbuh. Bagi saya, rasa akan sifat
keingintahuan hanya dapat disembuhkan oleh diri mereka sendiri.
Birokrasi yang belum
memadai
Menyadari dengan sadar,
bahwa sebetulnya pihak birokrasi adalah pihak yang penting. Aturan yang “mungkin”
akan dikeluarkan dapat lebih memberi kekuatan hukum pada penyitas. Mengutip
pernyataan Suden “Lucu kiranya, jika relasi kuasa dibaca sebagai problem
utama KS, namun masih mengemis regulasi kepada birokrasi kampus yang jelas
memiliki kuasa paling dominan” kalimat terakhir kuasa paling dominan.
Ketika suatu kuasa memiliki aturan yang jelas, maka penanganan dari kasus yang
terjadi akan lebih jelas.
Regulasi yang akan
dikeluarkan oleh birokrasi, baik kampus, BEM, atau DPM patut ditunggu. Aturan
ini akan sedikit demi sedikit mampu mengubah kelakuan menyimpang. Saya katakan
sedikit demi sedikit, karna manusia tidak mampu berubah secara langsung. Butuh
adaptasi. Sebagaimana makhluk yang adaptasi dengan lingkungan yang ada.
Lanjut lagi, mengutip
pernyataan Ganta “Saya baru-baru ini mendapat informasi, bahwa DPM
Fakultas Ilmu Sosial sedang menyiapkan peraturan untuk menangani kekerasan
seksual di Ormawa, pasca tragedi di HMIS” patut kita kawal apakah akan
dilakukan oleh DPM. Mengingat kasus pelecehan dapat terjadi kembali, bukan
ingin tapi berjaga-jaga. Agar ada aturan yang jelas serta penanganan yang
jelas.
Advokasi adalah hal yang
penting, tetapi tidak perlu di eksploitasi berlebihan. Mengapa saya sebutkan
bahwa advokasi itu penting? Berdasarkan unggahan Kementerian Pemberdayaan
Perempuan UNY, terdapat laporan yang menyebutkan penyintas membutuhkan
pendampingan psikologis. Jika advokasi ini tidak dijalankan dengan baik, adakah
yang membawahi kasus yang akan terjadi dan trauma psikologisnya?
Seperti yang dikatakan
Suden, bahwa isu PS dibuat sebagai reportase untuk komoditas teks. Menawarkan
jalan selamat dan membuka luka lama. Isu PS dan kasus-kasus yang terjadi
menurut saya akan lebih baik jika direportase secara wajar. Trauma pribadi yang
diangkat lebih baik dibicarakan secukupnya, karna benar “ruang digital”
membuatnya akan abadi.
Tetapi, dapat membuat
kita bingung ketika penyintas memperbolehkan untuk mengangkat traumanya
sebagai tulisan. Apakah sudah siap secara psikologis? Itu yang harus ditanyakan
kembali. Dampak psikologis dapat menimbulkan ketakutan pada penyintas.
Setiap organisasi dan
lingkungan tidak menjamin keamanan dari pelecehan.
Seperti yang dikatakan
oleh Ahmad dalam artikelnya, bahwa Ruang Aman pun ternyata disusupi oleh pelaku
pelecehan. Sama dengan HMIS, yang termasuk gagal memberikan keamanan terhadap lingkungan
ilmu sejarah dari pelecehan. Perusahaan Kereta Api Indonesia saja dengan aturan
yang ada masih dapat terjadi pelecehan. Apalagi dengan aturan yang belum jelas.
Menjadi bukti bahwa tidak ada yang mengira bahwa suatu lingkungan dapat di
masuki oleh pelaku.
Bagi saya, aksi nafsu ini
berasal dari sendiri atau lingkungan. Diri sendiri yang terbentuk dari sifat
asli pribadi manusia dan aspek lingkungan. Lingkungan sendiri belum tentu dari
lingkungan dia bernaung diorganisasi. Pengaruh dari lingkungan luar mereka
berada dan bertukar canda itulah juga yang membentuk mereka. Jadi tidak dapat
dikatakan Ruang Aman dan lingkungan HMIS buruk. Moral yang dimiliki pelaku
timbul dari yang mereka bentuk dan putuskan sendiri.
Salam mesra
Penutup dari tulisan saya
kali ini adalah bahwa tulisan saya tidak mewakili HMIS. Bagi beberapa orang,
kalian pasti tahu saya merupakan pimpinan redaksi Sanskerta Online saat ini.
Tapi, ini merupakan pemikiran saya akan tanggapan dari rekan sejawat dalam
lingkup ilmu sejarah. Saya mengapresiasi berbagai tulisan yang muncul
belakangan ini. Pandangan kalian bagi saya bukan untuk perbaikan bagi HMIS saja,
melainkan juga birokrasi dan jajarannya. Tak lupa juga untuk organisasi lain.
Maka dari itu, saya mengajak
abang tingkat saya Suden, Ray, Ganta, Ahmad, serta ketua himpunan Raflisyah untuk
berdiskusi pentingnya penanganan pelecehan seksual dan segala problematiknya di
UNY. Mungkin dapat diagendakan ketika musim liburan, nih. Selain dengan
tulisan, tampaknya kopi bisa sebagai medium bertukar pikiran, kan?
Penulis: Fajar Wahyu Sejati
Opini pribadi menulis
Komentar
Posting Komentar