Oleh: M. L. Alfissalam
Jepang memiliki tradisi perjodohan yang disebut dengan Miai Kekkon dan Ren ‘ai Kekkon. Dalam tradisi miai kekkon, calon pasangan dipertemukan oleh orang lain sehingga calon pasangan satu sama lain tidak terlibat dalam rencana kapan bertemunya. Orang yang berperan sebagai penghubung dan merencanakan pertemuan ini disebut dengan nakoodo.
Peran nakoodo atau ‘mak comblang’ dalam miai kekkon begitu intens karena berperan sebagai mediator di antara kedua keluarga calon pasangan yang dipertemukan. Pekerjaan sebagai nakoodo ini cukup banyak dilakukan pada era Meiji. Profesi menjadi nakoodo juga tidak sembarangan orang karena biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh mereka yang memiliki pergaulan lebih luas dan banyak kenalan. Ketika nakoodo mendapatkan tugasnya, mereka akan segera menghubungi orang-orang yang dikenal. Setelahnya nakoodo akan mempertimbangkan pasangan berdasarkan keinginan dari keluarga atau orang tua kedua belah pihak. Di sisi lain, mereka juga akan mempertimbangkan strata sosial di antara kedua belah pihak calon besan. Pertimbangan ini dilakukan agar pernikahan di antara calon akan berjalan secara langgeng serta bahagia. Selain itu, hal tersebut juga demi kebaikan nakoodo sendiri supaya direkomendasikan dalam pekerjaannya atau dapat diibaratkan dengan naik pangkat. Bahkan, jika perjodohan yang dilakukan oleh nakoodo ini berjalan dengan sukses, keluarga dari yang dijodohkannya akan memberikan bonus kepada nakoodo.
Makin berkembangnya zaman, nakoodo bukan hanya berperan sebagai mediator dalam perjodohan saja, melainkan terlibat lebih jauh, seperti proses lamaran atau peminangan dan ritual upacara pernikahan sehingga nakoodo memiliki sebutan lain chuunin, sewanin, dan chuukaisa. Bahkan, menjadi nakoodo tidak sembarang orang sehingga orang yang memutuskan memilih profesi tersebut harus memenuhi kriteria atau persyaratan. Adapun orang yang dapat menjadi nakoodo dalam miai kekkon, seperti mengenal baik kedua calon atau salah satunya, orang yang dipercayai oleh calon pasangan sejak lama dan populer di tempat tinggalnya, bisa menjadi sebagai penasihat, tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan karena akan diperlukan pembicaraan persiapan pranikah dengan kliennya, dan orang yang menjadi panutan dalam hubungan suami istri bagi calon pasangan. Banyak orang yang menjadi nakoodo professional, malah belakangan banyak yang mendirikan perusahaan untuk mempertemukan jodoh.
Berdasarkan bentuk katanya, miai berasal dari kata mi [見る] artinya melihat, lihat, memandang, sementara ai memiliki arti saling sehingga dapat disimpulkan miai berarti saling melihat atau memandang. Kata miai sebenarnya kepanjangan dari me to me o awasu yang berarti mencocokkan mata dan mata atau onna awasu yang artinya mencocokkan wanita. Oleh karena itu, miai kekkon ini memiliki makna perjodohan atau pernikahan yang diatur oleh pihak ketiga. Sehingga kedua calon pengantin ini hanya bertemu dalam waktu yang singkat, bahkan pada gaya klasik calon pasangan awal pertemuan terjadi saat menikah. Dari hal tersebut tentunya setelah nakoodo melakukan perannya, persetujuan diputuskan oleh keluarga terutama di antara kedua orang tua calon. Biasanya orang tua yang memiliki anak perempuan berumur 25 tahun ke atas serta belum memiliki pasangan, maka orang tua akan menggunakan jasa nakoodo karena nantinya akan mendapatkan gunjingan dari orang lain dengan sebutan ‘kue Natal’.
Namun, praktik miai kekkon pada masa sekarang berbeda dengan masa yang lalu. Meskipun Fukutake dalam bukunya, Japanese Society Today, mengatakan pertemuan yang dilakukan dengan secara hati-hati, di mana pihak calon diperbolehkan untuk saling meneliti, tetapi pada realitasnya pihak perempuan hanya terdiam di pandang saja, sementara yang meneliti yaitu calon pasangan prianya. Selain itu, pihak perempuan juga tidak diperbolehkan untuk menyampaikan pendapatnya terkait perjodohan dan pernikahan tersebut.
Praktik miai kekkon dalam sejarah telah berlangsung cukup panjang, terhitung sejak zaman Heian sampai saat ini. Miai kekkon sering dijumpai pada zaman Edo (1603–1868) yang pada saat itu tradisi ini memuat unsur politik. Biasanya para bangsawan atau keluarga terpandang yang memiliki putri akan menjodohkan putri mereka dengan keturunan yang memiliki strata sosial yang sama, hal ini demi menjaga kebangsawanannya. Namun, pada era Meiji (1868–1912) sistem sosial di Jepang dihapuskan dan digantikan dengan sistem kelas Shimin Byoodo. Meskipun dihapuskannya kelas sosial, beberapa kebiasaan dan norma samurai zaman Edo justru mulai diaplikasikan di dalam masyarakat, sebagai contoh konkretnya pernikahan yang diatur oleh keluarga.
Pada era Meiji pernikahan jenis miai kekkon juga masih kental di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menyatukan dua keluarga meskipun sebelumnya dari strata sosial yang berbeda. Namun, unsur politik masih tetap ada seperti contohnya samurai yang mana secara ekonomi tidak begitu kuat dibandingkan dengan para pedagang, maka biasanya samurai yang memiliki putri akan menjodohkan dengan putra seorang pedagang yang kaya sehingga meminimalisir keterpurukan ekonomi keluarga pihak samurai. Atas kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah bermaksud untuk memperkuat persatuan masyarakat terutama untuk menghadapi bangsa Barat. Kendati demikian, budaya Barat mulai mempengaruhi masyarakat Jepang, yaitu ren ‘ai kekkon yang berkebalikan dengan miai kekkon.
Ren ‘ai dalam kamus Jepang-Indonesia diartikan sebagai asmara atau percintaan. Sementara ren ‘ai kekkon berarti pernikahan atas dasar cinta, pernikahan antara pasangan yang saling mencintai, perasaan cinta dari pasangan satu sama lain, dan semacamnya. Dalam praktiknya, ren ‘ai kekkon, berbeda dengan miai kekkon, yang mana dalam perjodohan tanpa menggunakan nakoodo sehingga pertemuan calon pasangan ini terjadi secara alami, bahkan untuk saling mengenal atau menjajaki pasangan dapat diatur waktunya dengan sendiri.
Pada zaman Edo (1603–1868) sebenarnya kultur ren ‘ai kekkon telah diterapkan di desa-desa yang penduduknya mayoritas berprofesi sebagai petani. Terhitung 80% masyarakat menggunakan cara yang sudah menjadi tradisi di mana pria dan wanita bertemu ketika hendak menyelenggarakan pernikahan dan cara ini dianggap sebagai “menikah atas dasar saling cinta”. Contoh kasus yang terjadi pada saat itu apabila pasangan dianggap cocok oleh teman-temannya, maka pihak dari pasangan pria akan mendatangi keluarga dari perempuan untuk mendapatkan restu dari pihak perempuannya. Namun, apabila dari pihak keluarga perempuannya menolak maka dari pihak pria akan bertindak merugikan bagi keluarga perempuannya, seperti tidak membantu mereka disaat sedang musim panen atau memperbaiki rumahnya, hal ini berakhir hingga orang tuanya mengalah.
Beralih ke zaman Meiji, masuknya kebudayaan Barat memberikan pengaruh ke tradisi Jepang di mana salah satunya termasuk terkait perjodohan. Bangsa Barat beranggapan bahwa pernikahan seharusnya dilakukan karena adanya dasar saling mencintai antara pihak pria dan wanita sehingga dalam pernikahan ini bukan karena dasar paksaan atau dijodohkan. Kemudian paham tersebut mendapat dukungan, terutama dari beberapa kalangan feminis Jepang yang saat itu sedang baru-barunya berkembang. Contohnya pada masa itu berdiri sebuah organisasi seetosha (1911) yang mana salah satu misinya untuk memperjuangkan hubungan antara pria dengan wanita di mana pasangan tersebut menentukan pilihannya atas kemauannya bukan dari pilihan keluarga atau orang lain
Daftar Pustaka
Fukutake, Tadashi. 1988. Japanese Society Today. Tokyo: University of Tokyo Press.
Rosidi, Ajip. 2009. Orang dan Bambu Jepang; Catatan Seorang Gai-jin. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hubbard, Ben. 2016. Pendekar Samurai; Masa Keemasan Pendekar Elite Jepang 1560–1615. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Wibowo, Robi. 2017. Nalar Jawa Nalar Jepang; Analisis Strukturalisme Levi-Strauss pada Mitos Jaka Tarub dan Tanabata. Yogyakarta: UGM Press.
Mulyadi, Budi. 2018. Fenomena Penurunan Angka Pernikahan dan Perkembangan Budaya Omiai di Jepang. KIRYOKU. Vol. 2: (2), 65-71.
Komentar
Posting Komentar