Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Muhammad Fachrul Rabul
Salah satu upacara kepercayaan masyarakat Sumbawa |
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Tetapi tidak hanya itu, Indonesia juga kaya akan agama, suku, dan adat istiadatnya. Berdasarkan sensus penduduk 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) mendapatkan data 1331 kategori suku yang ada di Indonesia. Data tersebut di dapat sekitar 9 tahun yang lalu di mana data tersebut dapat berubah terlebih Indonesia merupakan negara yang luas dan untuk menjangkau seluruh wilayah tidaklah mudah.
Keberagaman budaya tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kebudayaan terbanyak di dunia. Predikat ini seharusnya menjadikan kita bangga dan berusaha untuk dapat memperdalam khazanah kebudayaan serta mencintai kebudayaan bangsa. Dewasa ini sering muncul persoalan mengenai hilangnya semangat masyarakat untuk menjaga dan melestarikan kebudayaannya. Untuk itu dalam hal ini saya akan membahas mengenai suku Sumbawa. Tujuan tulisan ini semoga mampu memberikan khazanah pengetahuan tentang budaya secara umum dan suku Sumbawa secara khusus serta membangkitkan semangat kita agar lebih mencintai dan melestarikan kebudayaan sendiri.
Secara geografis suku Sumbawa berdomisili di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Geografis Sumbawa merupakan daerah yang subur, meskipun terlihat seperti kering dan tandus. Permukaan tanah Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat berbukit-bukit. Hal tersebut menjadikan Sumbawa terkenal dengan hasil hutan, seperti kayu sepang, jati, rotan, madu, dan menjangan. Sumbawa merupakan salah satu kabupaten terluas di Pulau Sumbawa, namun penduduk yang tinggal di daerah tersebut masih jarang. Pulau Sumbawa didiami dua etnis besar, yaitu suku Sumbawa yang terletak di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat, serta suku Mbojo yang terletak di Kabupaten Bima dan Dompu. Orang Sumbawa sering menyebut diri mereka dengan sebutan Tau Samawa.
Secara etimologi, Tau Samawa berasal dari kata Tau yang berarti orang, Tana yang berarti tanah. Samawa berasal dari kata Sammava (Bahasa Sanskerta) artinya dari berbagai penjuru (Qolbi dan Gustiansyah, 2015: 2). Hubungan suku Sumbawa dengan suku bangsa lain di Nusantara sudah terjalin sejak lama. Tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan orang beranggapan suku ini dipengaruhi oleh Makassar dan Bugis yang kita ketahui secara geografis berdekatan. Namun, ternyata kebudayaan Sumbawa lebih terkesan memiliki pengaruh kental Melayu.
”Adat bersendikan syara, syara bersendikan kitabullah” (Zulkarnain, 2011: 31). Kalimat tersebut merupakan ungkapan yang menjadi pedoman kehidupan bagi masyarakat Sumbawa. Hal tersebut dapat kita lihat ketika masyarakat Samawa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Masyarakat Sumbawa meyakini bahwa tradisi dan adat-istiadat merupakan wadah kesepakatan untuk mewujudkan kearifan lokal di dalam masyarakat yang tentunya mempunyai fungsi bagi keberlangsungan hidup suatu masyarakat. Orang Sumbawa sendiri memiliki konsep diri agar mengutamakan rasa salengdan ilaq (harga diri), hidup selaras, harmonis.
Selain itu, dalam menjaga kearifan lokal masyarakat Samawa memiliki beberapa konsep yang didasari oleh rasa saleng, yaitu:
1. Saleng-sakiki, berbagi rasa satu sama lain, rasa sayang dan cinta kepada sesame, dan kasihan kepada orang yang sedang menderita ataupun kesusahan.
2. Saleng-pedi, memiliki rasa empati kepada orang lain. Sikap tersebut dapat tumbuh melalui kemampuan saleng-sakiki.
3. Saleng-satingi, saling menghormati kepada sesame. Oleh karena itu, orang Samawa punya prinsip bahwa siapa yang menghormati orang lain maka dia akan mendapatkan hal yang serupa dari orang lain.
4. Saleng-satotang, saling mengingatkan satu sama lain. Berhubung masyarakat Sumbawa mayoritas Islam mereka sangat memegang konsep ber-amar makruf dan nahi mungkar dalam kehidupan sehari-hari.
5. Saleng-sadu, rasa saling percaya ini dapat tumbuh dari rasa ilaq (malu) apabila melakukan suatu hal yang curang dan berkhianat kepada orang lain.
6. Saleng-sayang, rasa saling sayang kepada sesame yang dapat tumbuh ketika seseorang memiliki rasa saling percaya.
7. Saleng-tulung, memiliki sikap saling membantu dalam kehidupan.
8. Saleng-beme dapat diartikan saling bimbing atau membina diri dalam kehidupan bermasyarakat.
9. Saleng-jango dapat diartikan sebagai saling menjenguk. Tetapi, pada dasarnya sikap ini merupakan implementasi dari sikap saling menjaga silaturrahmi antar sesama masyarakat yang merupakan bagian dari nilai-nilai keislaman.
10. Saleng-santuret merupakan perwujudan dari demokrasi dalam keluarga maupun masyarakat. Sikap ini didasari oleh musyawarah untuk mencapai mufakat dan keputusan yang baik untuk kemaslahatan.
Konsep yang didasari rasa saleng ini menjadi pegangan dasar bagi masyarakat Sumbawa untuk melangsungkan kehidupan. Perlu kita ketahui bahwa masyarakat Sumbawa mayoritasnya beragama Islam. Hal tersebut menjadikan segala aktivitas kehidupan didasari oleh syariat islam. Mendominasinya Islam sebagai agama di Sumbawa terjadi pasca penakulukkan Kerajaan Hindu Utan atas Kerajaan Gowa-Sulawesi. Saat itu proses penyebaran agama Islam berlangsung dengan gemilang melalui segala sendi kehidupan, baik pendidikan, perkawinan, bahkan segala bentuk tradisi disesuaikan dengan ajaran islam.
Namun, masyarakat Sumbawa juga memiliki kebudayaan yang dari dulu mampu bertahan hingga saat ini. Tradisi kebudayaan di Sumbawa dapat kita bedakan menjadi tiga bagian, yaitu tradisi lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan. Tradisi lisan, seperti Basa Samawa. Bahasa rakyat sebagai salah satu bentuk folklore adalah Bahasa komunikasi sehari-hari warga setempat (Zulkarnain, 2011: 39). Selain itu, terdapat juga Ama Samawa (Ungkapan Tradisional), Lawas Samawa (Sajak dan Puisi Rakyat), Tuter Samawa (Prosa/Cerita Rakyat), Panan Samawa (Pertanyaan Tradisional), dan nyanyian rakyat.
Tradisi-tradisi lain yang memiliki hubungan erat dengan keagamaan, yaitu tradisi sebagian lisan, seperti Panyadu Tau Samawa (kepercayaan rakyat). Kita ketahui bahwa mayoritas penduduk Sumbawa beragama Islam. Oleh karena itu, segala aktivitas kehidupan masyarakat Sumbawa akan berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan. Namun, terdapat satu hal menarik dari masyarakat Sumbawa bahwa mereka masih mempercayai sesuatu hal yang berkaitan erat dengan tahayul.
Ketika membicarakan sesuatu hal yang tahayul sebagai masyarakat modern pastinya kita berpikir bahwa hal tersebut terkesan aneh. Namun Brunvard menggunakan istilah ini karena dalam kenyataannya sesuatu hal yang bersifat tahayul tidak bisa dilepaskan dari masyrakat modern. Secara garis besar Wayland D Hand membagi tahayul menjadi beberapa golongan, yaitu:
Tahayul sekitar lingkungan hidup
Masyarakat Sumbawa sangat senang dan menghargai ketika ada orang yang bertamu ke kediaman mereka. Baik sanak keluarga ataupun tetangga yang datang akan diperlakukan seperti keluarga sendiri. Namun, ketika ada seorang dari anggota tuan rumah yang hamil menjadi suatu hal yang tabu apabila masuk melalui pintu depan lalu keluar dari pintu belakang. Oleh karena itu, ketika masuk melalui pintu depan maka juga harus keluar melalui pintu depan.
Tahayul mengenai alam gaib
Ada beberapa jenis makhluk halus yang dipercayai oleh masyarakat Sumbawa sebagai penyebab mereka terganggu, diantaranya:
Kono, dipercaya sebagai penghuni lubuk dan jeram di sungai, dianggap tidak mengganggu apabila tidak diganggu.
Bakiq, makhlus halus serupa manusia, akan tetapi tumit kakinya ke depan dan jari kakinya ke belakang.
Leak, makhluk halus yang menghisap darah dan berbentuk seperti kancil.
Tahayul mengenai alam semesta
Menurut pandangan masyarakat Sumbawa terkait dengan tahayul mengenai alam semesta. Beberapa gejala yang mereka anggap sebagai tahayul, seperti jika ada pelangi maka mereka mengatakan itu merupakan tangga bidadari untuk mandi ke telaga di bumi. Selain itu, mereka juga meramalkan gejala cuaca yang dihubungkan dengan hari-hari seperti di tanggal satu bulan Muharram.
Dalam tatanan kehidupan di masyarakat suku Sumbawa juga memiliki struktur sosial seperti masyarakat pada umumnya. Pada awal masa pemerintahannya Sumbawa merupakan kesultanan yang dipimpin oleh seorang Sultan. Namun, seiring perjalanan waktu ketika daerahnya berubah menjadi bagian dari Republik Indonesia dan menjadi sebuah kabupaten. Keistimewaan dari suku Sumbawa terlihat ketika mereka melabeli seseorang disebut sebagai bangsawan bukan melihat dari segi material, tetapi dari segi tingkah laku. Hal tersebut menjadikan masyarakat Sumbawa sangat menjaga tingkah laku mereka terhadap siapapun. Ini juga tak terlepas dari dua konsep hidup yang mereka junjung tinggi, yaitu “Adat bersandi syara, Syara bersandi Kitabullah” dan “rasa saleng”.
Oleh: Alhidayath Parinduri
*Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta 2018
Referensi
Badan Pusat Statistik. 2015. Mengulik Data Suku di Indonesia. https://www.bps.go.id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html. Diakses pada 25 September 2019 pukul 20.30 WIB.
Kuntjara, Eshter. 2006. Penelitian Kebudayaan Sebuah Panduan Praktis. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kuntjaraningrat. 1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Manca, L. 1984. Sumbawa Pada Masa Lalu. Surabaya: Rinta.
Qolbii, Dzaari dan Tommy Gustiansyah. 2015. Suku Sumbawa (Tau Samawa). Makalah.
Zulkarnai, Aries. 2011. Tradisi dan Adat Istiadat Samawa. Yogyakarta: Ombak.
terima kasih, tulisannya memberikan banyak informasi dan pengetahuan baru untuk saya
BalasHapus