Oleh: Juwita Panggabean
Editor: Raihan Risang A. P.
Suku Mandailing merupakan salah satu cabang suku Batak yang mendiami beberapa kabupaten di Provinsi Sumatra Utara, yaitu di Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Suku Batak mandailing ini berada diantara dua kebudayaan dan peradaban yaitu Batak dan Minangkabau.
Di daerah Minangkabau terdapat salah satu marga atau suku yang bernama Mandaihiliang, sehingga orang Minangkabau menganggap bahwa suku Mandailing adalah bagian dari suku mereka. Akan tetapi jika dilihat dari berbagai sistem yang ada seperti marga, bahasa, tradisi, dan adat istiadat, suku Mandailing lebih dekat dengan suku Batak daripada suku Minangkabau. Oleh karenanya suku Mandailing disebut juga sebagai Batak Mandailing.
Mayoritas masyarakat suku Batak Madailing menganut agama Islam, hal ini berbeda dengan suku Batak yang lain dimana mayoritasnya memeluk agama Kristen. Suku Minangkabau mengenal Islam dari kaum Paderi. Sebelum abad ke 18, kaum Paderi datang ke Sumatra Utara yang lebih tepatnya di daerah Natal dan Padang Lawas. Pasukan kaum Paderi datang untuk menyebarkan agama Islam di tanah Batak bagian selatan atau lebih dikenal di daerah Tapanuli Selatan.
Kaum Paderi menyebarkan agama Islam kepada suku Batak Mandailing melalui perdagangan dan pernikahan. Di karenakan masyarakat Batak yang dikenal gemar merantau, maka mereka dapat melakukan penyebaran agama Islam melalui pernikahan dengan sesama suku Batak maupun suku lain yang belum memiliki agama ataupun belum memeluk agama Islam. Akibatnya daerah bagian tengah (Tapanuli Tengah) masyarakatnya dominan menganut agama Islam.
Sebelum mengenal agama Islam, suku Batak Mandailing sudah memiliki kepercayaan terlebih dahulu yang dikenal sebagai sistem kepercayaan animisme atau Pelbegu. Begu sendiri dalam bahasa Batak artinya makhluk halus atau roh. Sistem kepercayaan Pelbegu ini adalah menyembah roh-roh nenek moyang.
Kepercayaan Pelbegu jumlahnya tidak hanya satu melainkan lebih dari satu dan menempati berbagai tempat yang ada di suatu hutan (wilayah tempat tinggal). Ada begu yang menempati tanah atau ladang, begu yang menempati pohon-pohon yang berukuran besar, begu yang menempati rumah, begu yang menempati patung, dan tempat-tempat lainnya. Ada juga namanya begu Tagasan yang dipercayai oleh suku Batak Mandailing untuk menjaga dan melindungi satu keturunan dan satu marga.
Begu Boru Ni Namora Nam Puna Tano: putri yang mulia, pemilik tanah. (nam pun: pemilik/punya. Tano: tanah). Kata boru digunakan untuk kata perempuan.
Begu Boru Ni Ambolungan Bulu Begu Na Pahae Paulu di Batang Aek: putri yang mulia, pemilik sungai atau air. Pahae pahulu: mondar mandir dan Aek: air/sungai.
Begu Tuan Jonjang Balentung Na Mian di Pangulu Balang: putri yang mulia, yang menempati patung penjaga.
Di kalangan suku Batak ada begu yang sangat dikenal yaitu begu ganjang. Kata ganjang yang berarti tinggi. Masyarakat suku Batak tidak akan asing lagi dengan nama ini. Biasanya untuk melihat begu ganjang, seseorang harus mendongakkan kepalanya ke atas karena wujud dari begu ganjang yang amat tinggi. Orang akan melihat sosok begu ganjang yang seperti bayangan hitam yang menjulang tinggi ke atas. Nama ini sangat populer pada masanya bahkan sampai sekarang masih dikenal di daerah-daerah tertentu, pada umumnya di daerah pedalaman yang masih mempercayai keberadaannya.
Beberapa masyarakat suku Batak mempercayai begu ini sebagai penjaga tanah atau harta milik seseorang, yang mana kalau kita mengganggu tanah atau harta milik sang tuan tanah maka kita akan terkena marabahaya seperti sakit parah bahkan bisa berakibat kematian. Dan sebaliknya, jika kita tidak mengusik ketenangan sang tuan tanah dan tanahnya maka kita tidak akan diganggu oleh begu ganjang. Ada juga yang beranggapan dan mempercayai bahwa begu Ganjang ini bisa dipelihara dan dapat diberi perintah oleh sang empunya.
Masyarakat Mandailing percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang bisa memelihara begu dengan maksud untuk disuruh melakukan keinginan dari sang pemilik begu, seperti disuruh untuk membuat orang yang tidak disukai agar sakit atau bisa juga disuruh untuk menyembuhkan orang yang sakit. Menurut keyakinan orang Mandailing pada masa sebelum masuknya Islam, semua begu yang disembah dan dipuja oleh masyarakat suku Mandailing terdapat satu tokoh yang maha kuasa dinamakan na gumorga langit na tumompa tano (yang mengukir menciptakan langit, yang menempati tana atau bumi).
Dengan demikian, beberapa tetua di Mandailing pernah mengemukakan bahwa dalam sistem kepercayaan lama Pelbegu ini ada dua tokoh utama yang memiliki peran yang cukup penting, yaitu Si Baso dan Bayo Datu. Si Baso diyakini sebagai media perantara untuk berkomunikasi dengan dunia alam gaib guna untuk meminta bantuan dan pertolongan, karena si Baso dapat berkomunikasi dengan roh-roh nenek moyang.
Untuk berkomunikasi dengan roh-roh maka akan diadakan upacara ritual. Upacara ritual ini dinamakan Pasusur. Pada upacara ritual akan dimainkan ansambel musik adat Gondang Sambilan dan Gondang khusus yang dinamakan Mamele Begu. Ritual ini akan dipimpin dan diarahkan oleh Datu. Ritual ini dilaksanakan agar Baso dapat dirasuki oleh roh nenek moyang. Roh nenek moyang akan memberi petunjuk untuk mengatasi berbagai masalah dan malapetaka yang sedang menimpa warga.
Sedangkan Datu ialah orang yang memimpin berjalannya pelaksanaan ritual-ritual, dikenal bisa menyembuhkan seseorang dari berbagai macam penyakit (penyembuh tradisional), dan juga Datu memiliki peran sebagai peramal, meramal kapan datang bencana dan kapan datangnya keberuntungan. Begitulah sistem kepercayaan dari suku Batak Mandailing, di zaman modern seperti ini sudah jarang kita dapat menemui masyarakat yang masih mempercayai keberadaan pelbegu, namun di daerah tertentu atau di tempat yang terpencil biasanya masyarakatnya masih memegang kuat adat istiadatnya termasuk meyakini keberadaan pelbegu ini.
Editor: Raihan Risang A. P.
Tarian adat Batak Mandailing (Ilustrasi oleh Muhammad Lazuardi) |
Di daerah Minangkabau terdapat salah satu marga atau suku yang bernama Mandaihiliang, sehingga orang Minangkabau menganggap bahwa suku Mandailing adalah bagian dari suku mereka. Akan tetapi jika dilihat dari berbagai sistem yang ada seperti marga, bahasa, tradisi, dan adat istiadat, suku Mandailing lebih dekat dengan suku Batak daripada suku Minangkabau. Oleh karenanya suku Mandailing disebut juga sebagai Batak Mandailing.
Mayoritas masyarakat suku Batak Madailing menganut agama Islam, hal ini berbeda dengan suku Batak yang lain dimana mayoritasnya memeluk agama Kristen. Suku Minangkabau mengenal Islam dari kaum Paderi. Sebelum abad ke 18, kaum Paderi datang ke Sumatra Utara yang lebih tepatnya di daerah Natal dan Padang Lawas. Pasukan kaum Paderi datang untuk menyebarkan agama Islam di tanah Batak bagian selatan atau lebih dikenal di daerah Tapanuli Selatan.
Kaum Paderi menyebarkan agama Islam kepada suku Batak Mandailing melalui perdagangan dan pernikahan. Di karenakan masyarakat Batak yang dikenal gemar merantau, maka mereka dapat melakukan penyebaran agama Islam melalui pernikahan dengan sesama suku Batak maupun suku lain yang belum memiliki agama ataupun belum memeluk agama Islam. Akibatnya daerah bagian tengah (Tapanuli Tengah) masyarakatnya dominan menganut agama Islam.
Sebelum mengenal agama Islam, suku Batak Mandailing sudah memiliki kepercayaan terlebih dahulu yang dikenal sebagai sistem kepercayaan animisme atau Pelbegu. Begu sendiri dalam bahasa Batak artinya makhluk halus atau roh. Sistem kepercayaan Pelbegu ini adalah menyembah roh-roh nenek moyang.
Kepercayaan Pelbegu jumlahnya tidak hanya satu melainkan lebih dari satu dan menempati berbagai tempat yang ada di suatu hutan (wilayah tempat tinggal). Ada begu yang menempati tanah atau ladang, begu yang menempati pohon-pohon yang berukuran besar, begu yang menempati rumah, begu yang menempati patung, dan tempat-tempat lainnya. Ada juga namanya begu Tagasan yang dipercayai oleh suku Batak Mandailing untuk menjaga dan melindungi satu keturunan dan satu marga.
Begu Boru Ni Namora Nam Puna Tano: putri yang mulia, pemilik tanah. (nam pun: pemilik/punya. Tano: tanah). Kata boru digunakan untuk kata perempuan.
Begu Boru Ni Ambolungan Bulu Begu Na Pahae Paulu di Batang Aek: putri yang mulia, pemilik sungai atau air. Pahae pahulu: mondar mandir dan Aek: air/sungai.
Begu Tuan Jonjang Balentung Na Mian di Pangulu Balang: putri yang mulia, yang menempati patung penjaga.
Di kalangan suku Batak ada begu yang sangat dikenal yaitu begu ganjang. Kata ganjang yang berarti tinggi. Masyarakat suku Batak tidak akan asing lagi dengan nama ini. Biasanya untuk melihat begu ganjang, seseorang harus mendongakkan kepalanya ke atas karena wujud dari begu ganjang yang amat tinggi. Orang akan melihat sosok begu ganjang yang seperti bayangan hitam yang menjulang tinggi ke atas. Nama ini sangat populer pada masanya bahkan sampai sekarang masih dikenal di daerah-daerah tertentu, pada umumnya di daerah pedalaman yang masih mempercayai keberadaannya.
Beberapa masyarakat suku Batak mempercayai begu ini sebagai penjaga tanah atau harta milik seseorang, yang mana kalau kita mengganggu tanah atau harta milik sang tuan tanah maka kita akan terkena marabahaya seperti sakit parah bahkan bisa berakibat kematian. Dan sebaliknya, jika kita tidak mengusik ketenangan sang tuan tanah dan tanahnya maka kita tidak akan diganggu oleh begu ganjang. Ada juga yang beranggapan dan mempercayai bahwa begu Ganjang ini bisa dipelihara dan dapat diberi perintah oleh sang empunya.
Masyarakat Mandailing percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang bisa memelihara begu dengan maksud untuk disuruh melakukan keinginan dari sang pemilik begu, seperti disuruh untuk membuat orang yang tidak disukai agar sakit atau bisa juga disuruh untuk menyembuhkan orang yang sakit. Menurut keyakinan orang Mandailing pada masa sebelum masuknya Islam, semua begu yang disembah dan dipuja oleh masyarakat suku Mandailing terdapat satu tokoh yang maha kuasa dinamakan na gumorga langit na tumompa tano (yang mengukir menciptakan langit, yang menempati tana atau bumi).
Dengan demikian, beberapa tetua di Mandailing pernah mengemukakan bahwa dalam sistem kepercayaan lama Pelbegu ini ada dua tokoh utama yang memiliki peran yang cukup penting, yaitu Si Baso dan Bayo Datu. Si Baso diyakini sebagai media perantara untuk berkomunikasi dengan dunia alam gaib guna untuk meminta bantuan dan pertolongan, karena si Baso dapat berkomunikasi dengan roh-roh nenek moyang.
Untuk berkomunikasi dengan roh-roh maka akan diadakan upacara ritual. Upacara ritual ini dinamakan Pasusur. Pada upacara ritual akan dimainkan ansambel musik adat Gondang Sambilan dan Gondang khusus yang dinamakan Mamele Begu. Ritual ini akan dipimpin dan diarahkan oleh Datu. Ritual ini dilaksanakan agar Baso dapat dirasuki oleh roh nenek moyang. Roh nenek moyang akan memberi petunjuk untuk mengatasi berbagai masalah dan malapetaka yang sedang menimpa warga.
Sedangkan Datu ialah orang yang memimpin berjalannya pelaksanaan ritual-ritual, dikenal bisa menyembuhkan seseorang dari berbagai macam penyakit (penyembuh tradisional), dan juga Datu memiliki peran sebagai peramal, meramal kapan datang bencana dan kapan datangnya keberuntungan. Begitulah sistem kepercayaan dari suku Batak Mandailing, di zaman modern seperti ini sudah jarang kita dapat menemui masyarakat yang masih mempercayai keberadaan pelbegu, namun di daerah tertentu atau di tempat yang terpencil biasanya masyarakatnya masih memegang kuat adat istiadatnya termasuk meyakini keberadaan pelbegu ini.
Sangat bermanfaat mba makasih yaaa
BalasHapusThis is amazing my friend, Juwita
BalasHapusKeren. Terimakasih , sangat bermanfaat.
BalasHapusTerus dikembangkan ya ������
Wahh jadi lebih tau sejarah dari Batak Mandailing ini��.Sungguh bermanfaat ��
BalasHapusAlhamdulillah tambah lagi ilmu nya :) thankyou
BalasHapusSangat bermanfaat sekali :')
BalasHapuskeren bgt mbaknya,bermanfaat sekali
BalasHapusDitunggu tulisan selanjutnya
BalasHapusMakasih penjelasannya kak,sangat membantu dalam belajar.. adat lain menyusul ya kak
BalasHapus