Oleh: Ahmad Effendi
Kekerasan dan kriminalitas harus dimaknai sebagai anak kandung dari kebudayaan manusia. Keduanya merupakan dua entitas yang berjalan secara literal. Pun, kebudayaan tersebut tidak hadir dari ruang hampa. Jika melihat konteks dan motif, maka banyak ragam dari tindak kekerasan dan kriminalitas. Satu diantaranya yang menarik untuk dikuliti adalah “carok”. Carok yang selama bertahun-tahun dijadikan sebagai media “penyelesaian” konflik antar manusia, khususnya untuk konteks masyarakat Madura,telah distigmakan sebagai budaya kekerasan. “Carok” dalam bahasa Kawi Kuno berarti “perkelahian”, atau mengurai artian lebih universal, dipandang sebagai perkelahian antarmanusia untuk menyelesaikan suatu perkara. Secara motif, carok hadir sebagai upaya balas dendam demipenyelesaian konflik rebutan tanah, harta, atau saat istri seseorang diganggu. Lebih konkretnya, carok menjadi protokol yang digunakan ketika harga diri seseorang merasa terinjak. Sampai--sampai, masyarakat Madura mengenal istilah “Ango’an potetolang etembang pote matah”, yang dapat diterjemahkan sebagai, “Hidup tidak ada maknanya jika kehilangan harga diri”. Dalam Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2002), dijelaskan bahwa gangguan terhadap istri, balas dendam, mempertahankan martabat, dan mempertahankan harta menjadi menjadi penyebab utama dari carok. Dengan begitu, sudah sangat jelas bahwa rasa malu yang kadung tertanam membuat seseorang akan melakukan carok.
Namun, bagaimana sesungguhnya carok dimaknai dalam konteks kehidupanmasa kolonial? Harus diakui, melihat budaya carok melalui kacamata yang kita pakai hari ini, hanya akan membikin buram. Alih-alih melihatnya secara jelas, carok yang hari ini kita pandang sebagai budaya “saling tebas”, mempunyai sejarah panjangnya. Memahami kemunculan awal carok, maka perlu pula untuk melihat sosok blater (jagoan) di Madura. Berdasarkan catatan Ong Hok Ham dalam Dari Soal Priayi Sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara, menjelaskan bahwa kekuatan politik seorang penguasa sering diukur dari kapasitas personal melalui banyaknya pengikut, sehingga seorang raja atau penguasa lokal pun diberi predikat seorang jago. Blater digambarkan sebagai penguasa lokal yang memiliki kemampuan bertarung, sehingga tak jarang ia memperoleh wilayah kekuasaannya dengan cara duel.
Sakera merupakan seorang blater yang begitu masyhur dalam sejarah masyarakat Madura. Ia dikenal sebagai seorang penguasa perkebunan tebu yang begitu membela hak-hak rakyat, serta dikenal anti-kolonial. Memasuki abad ke-18, terjadi gelombang yang manapemerintah Hindia-Belanda menginginkan pembukaan lahan baru untuk pabrik gula. Berbagai sikap penolakan terjadi karena pemerintah kolonial memberikan harga yang begitu kecil untuk lahan-lahan yang dibeli. Sakera yang memang memiliki kepentingan untuk mempertahankan lahan–disamping sikap anti-kolonialnya–begitu getol melakukan berbagai upaya penolakan. Perlawanan-perlawanan yang tak jarang, juga harus melibatkan para jago suruhan pemerintah kolonial. Hingga karena pelbagai tindakannya, Sakera dimasukan dalam daftar pencarian oleh kepolisian Hindia-Belanda atas tuduhan mengganggu ketertiban.
Dengan berbagai upaya dan siasat, akhirnya Sakera berhasil ditangkap dan dipenjara di Bangil. Upaya pelarian sering ia lakukan, hingga melibatkan perkelahian hebat dengan sipir, sebelum akhirnya Sakera dijatuhi hukuman mati karena semua tindakan melawan hukumnya. Peristiwa digantungnya Sakera, seakan menjadi epos yang digunakan rakyat untuk membakar semangat perlawanan atas pemerintah kolonial. Perlawanan Sakera hanya menjadi segmen kecil dari upaya perlawanan masyarakat. Karena setelahnya, terjadi gelombang perlawanan yang lebih besar lagi. Gelombang-gelombang selanjutnya itu, pemerintah kolonial namakan dengan istilah “perbanditan”. Pelaku perbanditan sendiri dikatakan sebagai seorang yang melawan hukum. Tentu dalam kacamata pemerintah kolonial, para bandit ini disebut “kriminil”. Namun, dalam pandangan rakyat–khususnya Madura–mereka adalah pahlawan.
Sketsa pemuda menggunakan carok untuk membunuh lawannya oleh Muhammad Lazuardi |
Bandit vs. Bandit, Kreasi Kolonial
Pemerintah kolonial tentu sangat muak dengan segala perlawanan. Selain karena mengguncang stabilitas keamanan, juga mulai mengancam sektor lain, salah satunya perdagangan. Guna mengatasi perbanditan dalam lingkup pedesaan, pemerintah Hindia-Belanda jarang sekali menggunakan pendekatan hukum–proses pengadilan. Namun, yang sering terjadi di Madura adalah dengan cara kekerasan (represif) dan pola kolaborasi terselubung dengan para bandit itu sendiri. “Menangkap bandit dengan bandit”. Demikianlah cara yang paling sering digunakan. Alasannya begitu rasional. Asumsinya, cara ini dianggap lebih efisien karena pemerintah kolonial tidak cukup mampu mengooptasi seluruh kekuatan masyarakat sampai ke akar-akarnya. Cara demikian dianggap efektif. Pun tidak adanya niatan dari pihak kolonial untuk membangun institusionalisasi negara yang berorientasi pada stabilisasi keamanan demi kemakmuran masyarakat lokal. Dalam konteks ini, kekuasaan kolonialis juga ditegakkan melalui jasa para bandit. Blater sebagai sosok jagoan desa, bisa saja jadi tangan kanan Hindia-Belanda.
Berdasarkan uraian tersebut, maka secara sosio-ekologis, fenomena blater dan perbanditan sangat berhubungan erat dengan kondisi sosio-kultural masyarakat. Disamping faktor struktural lainnya, khususnya di dalam format negara kolonialis yang tidak mendorong adanya proses penegakan hukum dan keadilan. Ketika terjadi praktek ketidakadilan, masyarakat akhirnya menegakkan hukumnya sendiri. Sekalipun dengan jalan kekerasan karena hal itu dianggap sebagai cara membela diri (self help). Konflik dalam bentuk tindakan carok, terjadi dalam konteks ketiadaan peran negara dalam memberikan rasa amandan perlindungan masyarakat Madura. Mengutip narasi De Graaf dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa (2001), “Eksistensi kerajaan di Madura selalu berada dalam bayang-bayang dominasi kerajaan Jawa, mulai dari ekspansi Kerajaan Singosari sampai Mataram”. Dengan demikian, menegaskan pengalaman Madura yang selalu gagal menciptakan kerajaan mandiri.
Dampak lebih jauh, masyarakat mengelola sendiri sistem kekerasan tanpa melibatkan peran institusi pemerintahan (baca; kerajaan). Dalam praktek negara di masa lampau, terutama di masa kerajaan, kekuasaan selalu mendasarkan diri pada kharisma raja atau penguasa yang ditopang melalui pemeliharaan para jagoan untuk melanggengkan kekuasaan. Begitu pula yang terjadi di masa kolonial, negara sebagai institusi kekuasaan tidak cukup mampu menerapkan tertib hukum. Bahkan pemerintah kolonial memanfaatkan para blater sebagai alat pengintai (informan). Hal inilah membuat eksistensi blater seolah terlindungi oleh kekuasaan formal yang ada. Akhirnya, terjadi perbedaan nan persamaan mengenai pemahaman carok dulu dan hari ini. Perbedaannya, carok dahulu menjadi cara kolonial mengadu blater –jagoan di pihak Hindia-Belanda–dengan para bandit, sedangkan hari ini dipandang sebatas media penyelesaian konflik antarmasyarakat. Persamaannya, perilaku kekerasan dan kriminalitas menjadi entitas yang dipandang wajar pada masyarakat Madura dalam penyelesaian konflik.
*Tullisan ini telah dimuat di Majalah Sanskerta edisi Januari 2020
Komentar
Posting Komentar