Illustrasi: Rachmad Ganta Semendawai |
Kekuasaan Mataram yang baru berusia anom,
mengalami lika-liku yang aral dalam memperluas hegemoninya. Perkembangan Mataram
yang begitu pesat, mengancam daerah-daerah yang dipimpin penguasa-penguasa lokal.
Banyak pemimpin daerah yang membangkang dan menolak mengakui kekuasaan Mataram.
Salah satunya adalah Ki Ageng Mangir. Hal ini seakan menjadi “duri dalam
daging” bagi pemerintahan Panembahan Senapati yang telah bertekad menguasai
Mataram sepenuhnya.
Ki Ageng Mangir adalah seorang penguasa
dari wilayah Mangir, yang berada di tepi Sungai Progo. Wilayah ini dahulu tidak
mau tunduk di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram Islam. Persoalan Mangir yang membangkang
terus berlanjut bahkan hingga pada masa Ki Ageng Mangir III atau yang juga dikenal
dengan nama Mangir Wanabaya III. Ki Ageng Mangir III beranggapan bahwa wilayah
Mangir adalah sebuah wilayah perdikan yang telah sejak lama bebas dari pungutan
pajak dan bebas untuk mengelola wilayahnya sendiri. Ki Ageng Mangir terkenal
disegani karena memiliki ilmu yang tinggi mandraguna. Kehebatan Ki Ageng Mangir
tidak bisa dilepaskan dari kesaktian senjatanya, yaitu Tombak Baru Klinting.
Terlepas dari hal tersebut kita memang tidak bisa percaya sepenuhnya terkait
kesaktian Ki Ageng Mangir bersama dengan tombaknya. Lamun, kalau
diinterpretasikan, jelas bahwa Ki Ageng Mangir merupakan sosok yang
berkarismatik sehingga tak hanya disegani oleh pengikutnya, tetapi juga para
musuhnya. Hal inilah membuat Panembahan Senopati yang kala itu ingin menaklukan
wilayah Mangir, menjadi segan untuk berhadapan dan melawan secara langsung Ki
Ageng Mangir.
Hal
tersebut menjadikan Panembahan Senopati memutuskan untuk meminta bantuan kepada
Ki Juru Martini yang merupakan ahli strategi Mataram. Ki Juru Martini pun
membantu Panembahan Senopati dalam mengalahkan Ki Ageng Mangir, yang mana ia
membuat siasat dengan memakai taktik sandiwara rahasia. Dalam taktik ini, Ki Juru
Mertani memerintah para punggawa untuk mengamen dengan pertunjukan wayang
beber. Ia menamakan punggawa pertunjukan itu bernama Sandi Guna dan dalangnya
adalah Ki Dalang Sandi Guna. Punggawa Sandi Guna mulai melakukan pertunjukan
keliling dengan tujuan utamanya ialah menuju wilayah Mangir. Raden Ajeng Pembayun, putri Panembahan Senopati
ikut dalam rombongan tersebut. Dia berpura-pura sebagai anak dari Ki Dalang
Sandi Guna sekaligus ledhek yang
nantinya mampu menarik dan memikat hati Ki Ageng Mangir. Sebelum sampai di wilayah
Mangir, Raden Ajeng Pembayun berserta rombongannya terlebih dahulu melakukan
kungkum atau berendam di sebuah sendang yang dipercaya sebagai petilasan Sunan
Kalijaga. Sendang tersebut diyakini mempunyai daya gaib yang dapat memancarkan
aura dalam memikat hati pasangan yang dituju. Oleh karena kepercayaan tersebut,
sendang itu dinamakan Sendang Kasihan. Sendang Kasihan saat ini masih bisa ditemukan,
sekitar dua kilometer dari Pabrik Gula Madukismo, Bantul, Yogyakarta. Tepatnya
berada di Dusun Kasihan, Kelurahan Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten
Bantul, Yogyakarta.
Singkat
cerita, Operasi Sandi Guna yang bertujuan sedemikian rupa untuk memikat dan
menarik hati dari Ki Ageng Mangir berhasil membuat Ki Ageng Mangir
menggebu-gebu dimabuk asmara. Ki Ageng Mangir
sangat terpikat oleh aura yang dikeluarkan Raden Ajeng Pembayun. Raden Ajeng Pembayun
pun diperistri oleh Ki Ageng Mangir. Arkian menjadi istri dari Ki Ageng Mangir,
Sedikit demi sedikit Raden Ajeng Pembayun berterus terang tentang jati diri
yang sebenarnya. Raden Ajeng Pembayun mengaku bahwa dia adalah anak dari
Panembahan Senopati. Raden Ajeng Pembayun
pergi tanpa minta diri karena di marahi oleh sang ayahanya lantaran
tidak mau dijadikan wanita hadiah untuk calon suami yang sama sekali tidak dicintainya.
Setelah Raden Ajeng Pembayun bercerita tentang masa lalunya, Mataram Islam
kemudian mengadakan sayembara untuk Raden Ajeng Pembayun yang dikatakan hilang
tidak tahu kemana. Dalam sayembara tersebut, jika yang berhasil menemukan Pembayun
adalah seorang laki-laki, maka diperbolehkan untuk memperistri dan diangkat
menjadi seorang menantu dari Panembahan Senopati. Begitulah tipu daya yang
dibuat oleh Ki Ageng Juru Martini, seorang ahli strategi Mataram Islam
Sayembara
tersebut terdengar oleh Ki Ageng Mangir. Bergegaslah Ki Ageng Mangir menemui
istrinya, yaitu Raden Ajeng Pembayun. Mereka berdiskusi dan sepakat untuk
memberikan surat penyerahan diri kepada Panembahan Senopati. Ia, memberikan
balasan bahwa mereka berdua harus segera menghadap besok bulan Syawal depan.
Panembahan Senopati juga menjanjikan akan merayakan pernikahan besar mereka
berdua untuk yang kedua kalinya di Mataram Islam. Pada saat ingin menghadap Panembahan
Senopati, tak lupa Ki Ageng Mangir juga menurut sertakan Tombak Baru Klinting. Ki
Ageng Mangir berangkat bersama istri beserta abdi dalem yang sangat banyak
untuk memperlihatkan keinginannya untuk setia pada Mataram. Panembahan Senopati
pun menjemput kedatangan Ki Ageng Mangir beserta putrinya dengan mengutus
punggawa kerajaan istana di daerah Palbapang. Utusan tersebut mengingatkan
kepada Ki Ageng Mangir bahwa tidak pantas menghadap mertua dengan membawa bala
tentara yang sangat banyak. Panembahan Senopati akan mengira nantinya bahwa Ki
Ageng Mangir hendak berperang. Kemudian Ki Ageng Mangir pun memerintahkan
setengah pasukannya untuk kembali ke wilayah Mangir.
Sampai
di selatan Gandok, Ki Ageng Mangir diberitahu dan dimohon untuk mengurangi lagi
pasukannya. Hal tersebut membuat Ki Ageng Mangir merasa curiga dan bingung
antara meneruskan perjalananya untuk bertemu Panembahan Senopati atau kembali
ke wilayah Mangir. Akan tetapi, Ki Ageng
Mangir memutuskan untuk meneruskan perjalanannya. Sesampainya di Pamenggalan,
hal serupa terjadi lagi. Ki Ageng Mangir dimohon dengan sangat untuk mengurangi
pasukannya. Kemudian, sampailah Ki Ageng Mangir di Gerbang Kemandungan, sebagai
penanda wilayah pusat Mataram. Gerbang tersebut diberi atap dengan tiang yang
rendah dengan maksud untuk menahan pusaka Tombak Baru Klinting Ki Ageng Mangir.
Tombak ini dinggap sebagai pusaka yang membuat Mangir disegani di wilayahnya.
Tombak ini memiliki pantangan, yaitu tidak boleh dicondongkan, artinya harus
selalu berdiri tegak.
Dengan
tipu muslihat yang halus, Ki Juru Mertani merayu Ki Ageng Mangir untuk
memberikan tombak tersebut kepadanya. Ki Ageng Mangir tanpa rasa curiga
memberikan tombaknya kepada Ki Juru Mertani. Setelah itu, masuklah Ki Ageng
Mangir menemui Panembahan Senopati yang saat itu sedang duduk di sebuah batu. Batu
tersebut kemudian dikenal dengan Batu Gilang. Pada saat Ki Ageng Mangir sedang
sungkem hormat sebagai tradisi Keraton Mataram Islam, Panembahan Senopati mengambil
kesempatan untuk memegang kepala dan dipukulkannya kepala Ki Ageng Mangir ke
Batu Gilang sehingga menyisakan cekungan di ujung batu. Ki Ageng Mangir
meninggal seketika di tempat itu dan kemudian dimakamkan di Makan Raja-raja
Mataram Kotagede. Menariknya jenazah Ki Ageng Mangir dimakamkan secara
terpisah. Setengah badannya berada di dalam komplek pemakaman, sedangkan
setengahnya lagi berada di luar komplek pemakaman. Hal ini menandakan bahwa Ki
Ageng Mangir merupakan musuh dari Panembahan Senopati khususnya Mataram Islam,
tetapi juga sekaligus menantu dari Panembahan Senopati.
Riwayat
Ki Ageng Magir hingga akhir hayatnya, jelas tidak bisa dipahami seutuhnya.
Kemudian, memang jelas kisah ini merupakan semacam alat legitimasi Mataram
Islam yang pada saat itu ingin terus meluaskan hegemoninya. Walaupun begitu, jika
diinterpretasikan secara lebih mendalam, banyak nilai-nilai tersirat yang bisa
diambil. Nilai-nilai tersebut misalnya Ki Ageng Mangir merupakan sosok yang
sangat karismatik di wilayah Mangir, Bantul. Selain itu, terkait dengan
penarasian Batu Gilang dan Ki Ageng Mangir, ingin memberikan kesan bahwa Ki
Ageng Mangir mempunyai watak yang sangat keras karena tidak mau tunduk kepada
Mataram. Wataknya yang keras tersebut dialegoriskan dengan cekungan Batu
Gilang.
Narasi: Dimas Nurillah
Tim Penyusun: Dima Nurillah, Eka Tia Wardani,
Flamboyan Dwi Cahyo, Marni Dwi Sukmawati, Aufa Huaidi, Fenni
Editor: Donny Agustio Wijaya dan Rachmad Ganta
Semendawai
*Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Ekspedisi 2019
*Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Ekspedisi 2019
Komentar
Posting Komentar