Oleh: Bagas Nugroho Pangestu
Bedah buku berjudul "Babad Jawa ing Paran”, “Wong Jawa ing Landa”, dan “Javanese Arts and Literature: The Visual Story of Javanese in the Netherlands”, di Ruang Ki Hajar Dewantara, Fakultas Ilmu Sosial, UNY (19/12). foto/Bagas
Gambaran
diaspora orang-orang Jawa ke Belanda dijelaskan dalam tiga buku yang berjudul
“Babad Jawa ing Paran”, “Wong
Jawa ing Landa”, dan “Javanese Arts and Literature: The Visual
Story of Javanese in the Netherlands”. Ketiga buku ini dikaji pada acara
bedah buku yang judulnya sama dengan judul ketiga buku tersebut pada Kamis (19/12)
lalu.
Pada
bedah buku tersebut diisi oleh dua pembicara yaitu Masdar Faridl, dan Ferdi Arifin, yang
sekaligus penulis ketiga buku mengetengahkan perihal penyebaran orang-orang
Jawa ke Belanda dan aktivitasnya sampai sekarang ini.
Masdar
Faridl menjelaskan, jika diaspora orang-orang Jawa ke Belanda dibagi menjadi
tiga jenis, yaitu diaspora Jawa Indies, diaspora Jawa Indonesia, dan diaspora
Jawa Suriname. Ketiga jenis diaspora ini menurut Faridl merupakan waktu
kedatangan dan juga strata sosial orang-orang Jawa di Belanda.
Diaspora
Jawa Indies merupakan penyebaran orang Jawa yang pertama kali ke Belanda.
Biasanya orang-orang Jawa yang dibawa pada masa ini dijadikan Baboe atau Iboe Soesoe. “Orang-orang Jawa ini tak sedikit juga memiliki anak
dari hasil hubungannya dengan para tuannya”, terang Faridl. Hal ini juga
menjadikan generasi orang-orang Jawa berikutnya memiliki strata sosial yang
tinggi.
Sedang
jenis diaspora Jawa Indonesia dan diaspora Jawa Suriname menurut Faridl tidak
seperti Jawa Indies. Mereka (Jawa Indonesia dan Suriname) berasal dari golongan
pelajar dan pekerja yang tidak memiliki kemapuan khusus. Waktu kedatangan
mereka juga terbilang masih lebih baru ketimbang Jawa Indies.
Diaspora
orang-orang Jawa juga memunculkan tokoh-tokoh terkenal. Orang Jawa yang pertama
kali mendapat beasiswa untuk belajar di Belanda dengan beasiswa senilai 30.000 gulden
adalah Raden Saleh. Pelukis yang terkenal dengan gaya mooi idie-nya ini menjadi salah satu orang Jawa dari golongan
pelajar yang pergi ke Belanda.
Faridl
menambahkan, bahwa selain dari golongan pelajar dan priyayi ada juga golongan
zending dan misionaris yang ikut
mendorong orang Jawa pergi ke Belanda. Dari golongan masyarakat biasa diaspora
orang-orang Jawa terjadi pada tahun 1957 pasca revolusi fisik. Diaspora ini
diisi oleh orang-orang Jawa dan Maluku yang kebanyakan dari mereka lebih
memilih Belanda ketimbang Indonesia.
Cerita
lain dijelaskan oleh Ferdi Arifin, menurutnya orang-orang Jawa yang sudah
tinggal lama di Belanda masih menjalankan tradisi-tradisi Jawa. Orang-orang
Jawa yang sekarang ini dikumpulkan dalam komunitas-komunitas kecil di
Belanda sering mengadakan acara-acara yang bentuknya hampir sama dengan
acara-acara di Jawa. Seperti acara tong-tong fair yang mirip seperti pasar
kangen di Jogjakarta hingga masih menjalankan rapal doa Kenduri apem.
Menurut
Ferdi, kenduren yang masih dilakukan sampai sekarang ini benar-benar hanya
ingin menjalankan tradisi nenek moyangnya (tradisi Jawa). Walaupun orang-orang
Jawa ini tidak mengetahui betul makna dari setiap kata, tetapi mereka tetap
menjalankannya. “Ketika melihat teks rapal doanya itu, ada kata Allah namun
karena tidak mengerti maknanya mereka menyebutnya menjadi awoh”, tambah Ferdi. Keberadaan orang-orang Jawa di Belanda yang
masih menjalankan tradisinya ini merupakan bentuk dari keterkaitan hubungan
dengan tanah kelahiran nenek moyang mereka di Jawa.
Komentar
Posting Komentar