-Bagas Nugroho Pangestu
SI
School atau sekolah SI merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berkembang
pada masa pergerakan. Dengan membawa nama SI (Sarekat Islam), tentu sekolah ini
merupakan bentukan dari Sarekat Islam. Di awal masa pergerakan, SI merupakan
salah satu organisasi politik yang progresif. SI didirikan oleh Haji Samanhudi
pada akhir tahun 1911 di Solo[1].
Sebelum
berubah nama menjadi SI, organisasi ini awalnya bernama SDI (Sarekat Dagang
Islam). Anggotanya terdiri dari para pedagang dan kalangan agama. Hal ini lebih
menarik hati masyarakat karena menyentuh banyak kalangan—berbeda dari Budi
Utomo. Namun, setelah mengubah namanya menjadi SI, pandangannya pun ikut
berubah ke arah politik—hal ini juga atas dasar untuk menampung aspirasi dari
masyarakat pribumi.
Bukan
hanya melalui peran politik, para tokoh SI—seperti H.O.S. Tjokroaminoto,
Semaoen dan Darsono—juga memikirkan bagaimana caranya untuk membangun bangsa
ini. Salah satunya melalui peran pendidikan. Pada masa itu memang sudah ada
lembaga pendidikan yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Namun sekolah-sekolah
ini tak banyak dimasuki oleh orang-orang pribumi. Hanya orang-orang dari
golongan tertentu saja seperti golongan elit maupun priyai saja yang bisa
bersekolah di sana.
A. Latar Belakang Didirikan SI
School
Di
awal abad ke-20 tepatnya pada tahun 1901 kebijakan politik etis dijalankan oleh
pemerintahan kolonial. Politik ini merupakan cara yang dilakukan oleh
pemerintahan kolonial untuk membalas budi atas tanah jajahannya yang selama ini
dieksploitasi. Ada tiga kebijakan yang diterapkan pada waktu itu, salah satunya
bidang edukasi atau pendidikan. Hal tersebut membuat bidang pendidikan di
Hindia Belanda semakin berkembang.
Kesadaran
mayarakat akan pentingnya pendidikan setelah ada politik etis pun mulai dipikirkan.
Munculnya sekolah-sekolah yang dibuat oleh pemerintah kolonial memang pada
awalnya memberi angin segar. Namun, dalam prakteknya pendidikan yang dibuat
untuk daerah jajahannya masih terbilang rasis. Hal ini dikarenakan sekolah-sekolah
itu hanya menerima orang-orang pribumi dari golongan tertentu seperti bangsawan
dan priyai serta yang memiliki uang. Sedangkan masyarakat pribumi dari golongan
masyarakat kecil tidak bisa mendapatkan pendidikan.
Dengan
adanya kesenjangan tersebut membuat beberapa tokoh mulai berpikir dan berencana
untuk membuat sekolah. Kebanyakan sekolah-sekolah ini dibuat oleh organisasi-organisasi
yang sudah ada, salah satunya yaitu SI School atau sekolah SI.
SI
School didirikan pada tanggal 21 Juni 1921. Pada awalnya SI School hanya berada
di Semarang, tepatnya di Desa Gendong, Kecamatan Sarirejo, Kabupaten Semarang[2]. Hal
tersebut atas usulan dari Semaoen yang diajukan kepada dewan gemeente (satuan wilayah yang dikepalai
walikota) untuk mendirikan sekolah untuk anak-anak anggota SI. Usulan ini
dicetuskan setelah kursus pendidikan untuk anak-anak PKI[3]
diberhentikan oleh pemerintah.
Atas
usulan Semaoen SI School didirikan. Tidak membutuhkan waktu yang lama, sekolah
SI mulai tersebar di beberapa daerah seperti di Salatiga, Kaliwungu, Kendal dan
Bandung pada awal Januari 1922. Hal ini didasari oleh cabang-cabang SI lain
yang ingin mencontoh SI di Semarang.
Belum
genap satu tahun SI School sudah menjadi primadona bagi masyarakat pribumi
untuk mengenyam pendidikan. Salah satu alasan kenapa SI School sangat digemari
karena adanya Tan Malaka di belakangnya. Tan Malaka ditunjuk sebagai kepala
sekolahnya pada saat didirikannya SI School ini.
Tan
Malaka memang tidak asing lagi dengan dunia pendidikan dan memiliki pengalaman
yang cukup. Tan Malaka merupakan lulusan dari Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Belanda dan pernah
mengajar di sekolah rakyat perkebunan Deli[4].
Hal tersebut menjadikan Semaoen yang merupakan ketua SI cabang Semarang pada
saat itu tidak ragu lagi memilihnya.
Selain
merangkap menjadi kepala sekolah dan pengajar di SI School, dia juga yang
merumuskan dasar kurikulum di SI School. Dalam brosur (buku kecil) berjudul “SI
Semarang dan Onderwijs” yang ditulis oleh Tan Malaka sendiri
mencantumkan tiga dasar kurikulum yang dijalankan di SI School—pernah
diterbitkan oleh Yayasan Massa terbitan tahun 1987.
B. Tiga Kurikulum Dasar Tan Malaka
di SI School
Pada
waktu itu SI School merupakan salah satu sekolah yang banyak menyita perhatian
masyarakat dan pemerintah kolonial. Setelah berdirinya SI School banyak orang
tua yang ingin menyekolahkan anakanya. Selain itu, keberadaan SI School juga
cukup mengusik pemerintah kolonial yang terganggu dengan kurikulum yang
memerdekakan pikiran masyarakat pribumi waktu itu.
Salah
satu orang yang paling berpengaruh dalam pendirian SI School ini yaitu Tan
Malaka. Dialah sosok yang mencetuskan kurikulum yang memerdekakan pemikiran
mayarakat. Dengan pengalaman serta intelektual yang tinggi menjadikan pemikiran
yang memerdekakan itu dirumuskan dalam kurikulum SI School. Ada tiga dasar yang
menjadi kurikulum di SI School. Tiga dasar ini juga bisa dilihat di brosur yang
Tan Malaka buat pada tahun 1921. Rumusan itu antara lain:
I. Memberikan cukup senjata
untuk mencari penghidupan dalam dunia kemodalan (berhitung, menulis, membaca,
babad, ilmu bumi, bahasa Jawa, Melayu, Belanda dan sebagainya).
Pendidikan yang mengajarkan tentang berhitung, menulis,
membaca, sejarah (babad). Ilmu bumi, bahasa Jawa, Melayu, Belanda dan
sebagainya merupakan pendidikan yang umum. Menurut Tan Malaka pendidikan
seperti ini merupakan hal wajib untuk diberikan kepada siswa. Hal tersebut
merupakan bekal yang harus dikuasai oleh setiap siswa SI School. Harapannya
agar siswa lulusan SI School mampu bersaing di dunia kerja—yang bebas
(liberal). Tan Malaka juga menekankan agar siswa SI School juga mampu menguasai
bahasa Belanda. Menurutnya dengan menguasi bahasa penjajah (Belanda) maka siswa
akan mudah bersaing dengan orang-orang barat.
II. Memberi hak kepada siswa-siswa
sesuai apa yang mereka inginkan.
Pada gagasan keduanya ini SI School menjadikan siswanya
untuk bebas melakukan segala keinginannya. Artinya siswa di SI School tidak selalu
dibebani dengan pelajaran, melainkan siswa setelah bersekolah dibebaskan untuk
bermain. Hal tersebut memang sudah kodratnya anak-anak untuk bermain. Tan
Malaka menyadari itu, dengan bermain maka anak-anak akan mempelajari hal
penting dalam kehidupannya yaitu bersosialisasi.
Dengan adanya pola seperti itu menjadikan siswa-siswa
mampu mempelajari bagaimana cara berorganisasi. Selain itu, siswa juga berani
mengutarakan pendapat dengan teman-temannya. Setelah muncul kebiasaan-kebiasaan
itu diharapkan setiap siswa mampu menjadi pionir-pionir pergerakan yang mampu
mempengaruhi orang banyak.
III. Mendekatkan siswa kepada Kaum
Kromo
Pada dasar yang ketiga ini merupakan cita-cita dari
harapan Tan Malaka kepada siswa-siswa SI School. Setelah lulus dari SI School,
siswa mampu menjadikan dirinya berguna untuk kaum kromo (rakyat jelata). Siswa
diajak untuk mendekatkan dirinya kepada kaum-kaum yang lemah. Karena di sekolah
kolonial tidak mengajarkan tentang segala sesuatunya yang berdekatan dengan
kaum kromo.
Salah satu contohnya yaitu sudut pandang yang memandang
jika pekerjaan tangan itu pekerjaan yang rendah dibandingkan dengan pekerjaan
otak. Pekerjaan tangan pada waktu itu dipandang sebagai pekerjaan untuk
orang-orang rendahan atau kecil. Hal inilah yang ditentang dalam gagasan Tan
Malaka. Gagasan itu memandang jika semua pekerjaan itu baik asalkan menghasilkan
manfaat.
C. Bentuk SI School
SI
School di Semarang bisa dibilang sebagai embrio SI School di cabang-cabang yang
lain. Bukan hanya menjadi SI School yang didirikan pertama kali, melainkan juga
SI School ini merupakan contoh bagi cabang yang lain. Dalam brosur yang dibuat
Tan Malaka menjelaskan jika SI School ini dibagi dua tahapan yaitu Onderbouw (sekolah rendah) dan Middenbouw (sekolah tengah).
Onderbouw merupakan
tahapan awal bagi siswa SI School yang baru pertama kali masuk sekolah.
Pendidikan yang diajarkan untuk siswa-siswa di Onderbouw yaitu berhitung, menulis, membaca. Sedangkan di Middenbouw merupakan tahap lanjutan dari
Onderbouw. Rata-rata usia siswa yang
masuk di Middenbouw berusia 15 tahun.[5]
Para siswa ini diajarkan ilmu pendidikan (ilmu pedagogi).
Hal
ini dilakukan agar siswa-siswa di Middenbouw
bisa mengajari siswa-siswa yang berada di bawah tingkatnya. Di dalam brosur
yang dituliskan Tan Malaka, mereka (siswa Middenbouw)
mendapat pelajaran pedagogi di sore hari. Sedangkan di pagi hari mulai dari jam
8 pagi hingga 1 siang akan belajar sesuai dengan pelajaran sekolah. Selepas itu
mereka akan membantu para guru SI untuk kelas I dan II.[6]
Hal ini dimaksudkan agar lulusan dari SI School nantinya dapat mengajar. Saat
itu juga kondisi SI School masih kekurangan guru untuk mengajar padahal jumlah
siswa yang mendaftar di SI School semakin hari semakin bertambah.[7]
D. Berganti Nama SI School Menjadi
Sekolah Rakyat
Periode
1921 hingga 1924 merupakan masa sulit untuk SI yang juga memengaruhi terhadap
SI School secara tidak langsung. Walaupun SI School itu mengalami kemajuan yang
signifikan, keadaan partai SI yang terpecah menjadi SI putih dan SI merah
merupakan salah satu penyebabnya. SI merah dibawah pimpinan Semaoen yang juga
membawahi SI School di Semarang ikut terpengaruh. Apalagi SI merah diawasi
ketat oleh pemerintahan kolonial karena dianggap radikal.
Ditahun
1922, Tan Malaka ditangkap dan diasingkan di negeri Belanda. Penangkapan ini
perihal aksi pemogokkan yang dipelopori oleh Tan Malaka di Yogyakarta.[8]
Akan tetapi dengan ditangkapnya Tan Malaka bukan menjadikan SI School semakin
mundur, malah menjadikan SI School semakin baik. Salah satu contohnya yaitu
dibentuknya organisasi FOSIO (Fonds
Oentoek Sarekat Islam Onderwijs). Fungsi organisasi ini mengurus keuangan
yang mencakup SI School.[9]
Pecahnya
SI terjadi pada tahun 1924. Hal ini menyebabkan SI terbelah dua menjadi SI
putih dan SI merah. SI cabang Semarang yang dipimpin oleh Semaoen
bertransformasi menjadi Sarekat Rakyat dibawah naungan PKI pada tanggal 22 Juni
1924.[10] Secara
tidak langsung menjadikan SI School yang berada dibawah naungan SI cabang
Semarang merubah namanya menjadi Sekolah Rakyat (SR). Dengan bergantinya
nama menjadi SR membuat banyak sekolah cabang lain yang ditutup. Seperti SR
yang berada di Bandung itu diserahkan kepada Soekarno lalu diserahkan ke Taman
Siswa. Namun dengan menghilangnya nama SI School ala Tan Malaka bukan berarti
pengaruh SI School menghilang. Banyak sekolah-sekolah yang muncul menggunakan
model yang diterapkan oleh Tan Malaka.
[1]
A.K. Pringgodigdo SH, Sejarah Pergerakan
Rakyat Indonesia, (Jakarta: P.T. DIAN RAKYAT, 1991), hal. 4
[2]
Shela Rahmawati, Jurnal: Peran Tan Malaka
di Sekolah Sarekat Islam Semarang Tahun 1921-1924, (Yogyakarta: UNY, 2016),
hal. 8.
[3]
Ibid., hal. 7.
menarik
BalasHapuslanjutkeun, perbanyak referensi sejarah, sangat membantu sebagai alternatif sumber yg kredibel
BalasHapusTerimakasih tuan... :))
BalasHapus