PANJI, BUDAYA ASIA TENGGARA YANG TERLUPAKAN
Oleh: Hidayatul Umah
Asia Tenggara merupakan kawasan yang menyimpan banyak
sejarah yang menarik dilihat dari berbagai sisi dengan sudut pandang yang
berbeda. Dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya yang dikaji, tak pernah
habis untuk diperbincangkan karena keanekaragaman masyarakatnya sendiri dengan
keterkaitannya satu sama lain yang begitu menarik. Kondisi alamnya yang begitu
menakjubkan menyebabkan banyak yang ingin menguasai wilayah ini terutama bangsa
Eropa yang memang berhasil menduduki sebagian besar wilayah Asia Tenggara ini.
Salah satu kajian yang menarik mengenai Asia Tenggara
adalah mengenai budayanya. Adrian Vickers menyampaikan dengan begitu menarik
mengenai budaya-budaya di Asia Tenggara yang agak kurang setuju dengan beberapa
anggapan Anthony Reid yang menganggap Asia Tenggara dibentuk oleh perdagangan.
Dalam tulisannya Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara,
Adrian Vickers mengeksplorasi tentang penyebaran budaya di Asia Tenggara,
khususnya Panji, serta meninjau hubungan budaya melalui sumber-sumber
pertunjukan, gambaran, dan teks-teks yang pernah menjadi persamaan unsur budaya
antara Negara-negara yang bertetangga.
Dari perspektif modern, kelompok etnis dan kedaerahan
yang terdefinisikan dengan tegas di Asia Tenggara hanya saling berkaitan secara
longgar melalui perdagangan, hingga kolonialisme dan bangkitnya nasionalisme
membentuk peta terkini kawasan ini. Peradaban pesisir (pasisir) atau
peradaban “daerah pantai” merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut suatu
prinsip dinamis, atau pergerakan dan kreasi aktif heterogenitas. Untuk memahami
proses dinamis tersebut, berbagai contoh kemiripan kultural perlu disusun
mengenai mata rantai perdagangan, pergaulan sosial, hubungan politik dan interaksi kesusastraan serta kesenian yang mendasari terbentuknya tapal batas dan
bangsa-bangsa resmi Asia Tenggara.
Dalam arkeologi identitas Asia Tenggara, terdapat
istilah lain yang tidak digunakan dalam kajian ilmiah kebudayaan bersejarah,
yaitu gagasan tentang pesisir atau kompleks masyarakat “pantai” yang
pada abad ke-15 dan abad ke-20 menyediakan identitas utama bagi kawasan Asia
Tenggara. Di luar batasan geografis Asia Tenggara, terdapat mata rantai
perdagangan, pertukaran intelektual, pergerakan manusia, pergerakan motif-motif
dan bentuk-bentuk kesusastraan dan kesenian yang meyediakan wawasan tentang
peradaban khas Asia Tenggara.
Dalam sejarah Asia Tenggara, salah satu periode yang
samar-samar disebut negara-negara klasik yang berakhir pada sekitar abad ke-15
dan bangsa-bangsa modern yang tumbuh dari pengalaman kolonial, diisi oleh para raja
dan pendeta yang menghayati masa silam kerajaan-kerajaan besar, gagasan-gagasannya
mengenai kerajaan yang bijak dituangkan dalam banyak versi Ramayana yang
terdapat di seantero Asia Tenggara. Gambaran mengenai peradaban tersebut
terdapat dalam jilid pertama kajian Anthony Reid, Southeast Asia in the Age
of Commerce. Dalam kajiannya tersebut, Reid melukiskan tentang berbagai
minat, praktik, dan kebiasaan umum penduduk Asia Tenggara.
Mengenai sastra yang terdapat di Asia Tenggara dalam beberapa konteks dan bahasa, ada satu jenis narasi yang
terus-menerus muncul sebagai sastra Pesisir, yaitu cerita Panji, pangeran Jawa
dari Kahuripan. Narasi Panji di kenal luas di berbagai daerah seperti Jawa,
Sumatra, Semenanjung Melayu, Thailand, Burma, Bali, Lombok, dan Sulawesi
Selatan. Cerita Panji berfungsi untuk memetakan pergerakan dan keluasan budaya
itu meskipun bukan sinonim budaya Pesisir seutuhnya.
Cerita panji dan narasi-narasi lain yang dikenal
sebagai sastra Pesisir bukan sekedar merefleksikan budaya Pesisir, tetapi
merupakan kiprah budaya tersebut. Melalui teks-teks tersebut, berbagai norma
dan batas budaya bersama disebarkan, dimodifikasi serta diciptakan kembali. Sebagai dokumen kultural,
teks-teks itu menyediakan banyak deskripsi yang berguna perihal ideal
masyarakat ningrat pada berbagai masa ketika teks bersangkutan ditulis.
Selain teks-teks Panji, masih banyak lagi jenis teks
sastra dan seni yang beredar di Asia Tenggara yang mendeskripsikan masyarakat
dan budayanya. Jika berbagai budaya Asia Tenggara yang berbeda-beda mempunyai
banyak kesamaan sebagaimana yag ditunjukkan oleh uraian Reid, maka kesamaan itu
tidak boleh terlalu dikaitkan dengan asal-usul sumber tunggal, tetapi dengan
interaksi terus-menerus lewat perantaraan arus pergerakan mnusia dan peredaran
seni dan sastra yang menyediakan standar, norma dan batasan bersama. Penyebaran yang luas sastra
Melayu dapat dibuktikan dengan penemuan Hikayat Indrapura yang memiliki
banyak versi, yaitu versi Aceh, Makassar dan Bugis, versi Campa dari Kamboja, dan
versi Filipina dari Maranaw dan Mangindanao di Pulau Mindanao.
Negara-negara yang mayoritas beragama Budha Theravada
di Asia Tenggara, merupakan cikal bakal Kamboja, Thailand dan Burma yang
memiliki sejumlah bentuk cerita Panji. Di Thailand,
cerita Panji yang disebut Inao dan Dalang berperan penting dalam
budaya negara maupun budaya rakyat. Cerita tersebut berasal dari periode
Ayuthia akhir, namun ketika Rama I mendirikan dinasti Cakri, ia memerintahkan
pembuatan versi baru teks tersebut, bersama terjemahan dan adaptasi Ramayana
serta narasi-narasi Persia, Peli dan Cina. Rama II terkenal karena menulis
versi panjang Inao, yang hampir sama panjangnya dengan Ramayana
versi Thai, Ramakien. Dari Ayuthia, narasi Panji menyebar ke Burma,
Kamboja, dan Laos.
Di Kamboja hingga saat ini masih
dipentaskan dalam bahasa Thai yang diselingi komentar berbahasa Kamboja. Di
Asia Tenggara seni tari dan wayang melestarikan narasi Panji, sebagai bagian dari perdagangan dan upeti.
Thailand dan Kamboja mempertahankan desa-desa “Melayu”
serta
kelompok etnis yang dikenal sebagai Suku Campa
mempertahankan identitas Muslim di kawasan itu.
Akan
tetapi, partisipasi dalam
peradaban Pesisir mulai luntur di berbagai kelompok, negara, budaya dan
masyarakat dari masa ke masa. Sejumlah faktor membuat budaya pesisir tidak dapat dipertahankan terkait dengan
unsur-unsur imperialisme dan dominannya nasionlisme. Jika imperialisme
dimaksudkan sebagai kapitalisme industri, maka yang termuat dalam paham-paham
Weberian tentang rasionalisasi dan penutupan sangkarbesi birokrasi, sudah cukup untuk memangkas jenis-jenis pergerakan kultural yang menjaga kiprah peradaban Pesisir. Misalnya
kaum Cina lokal di Batavia yang meminjam cerita Panji
Melayu, dengan gaya campur-aduk identitas etnis dan adaptasi, boleh dibilang
jelas-jelas Pesisir. Akan tetapi, tuntutan dari nasionalisme Cina yang lahir
kembali sesudah 1911, tekanan dari Islam pembaharuan pada abad ke-19, dan
krisis kapitalisme yang efeknya menghancurkan standar hidup orang Indonesia
pada dasawarsa 1880-an dan 1890-an dan kemudian 1930-an, semuanya adalah
kekuatan yang tidak memberi tempat bagi kecairan identitas semacam itu. Ketika
pada periode sejak akhir abad ke-19 hingga 1940-an, para pemimpin nasionalis
Asia Tenggara menantang imperialisme, mereka harus melakukan itu dengan
menggunkan bahasa nasionalisme dan otonomi yang datang dari Eropa, dan bahasa
ini tidak menyisakan tempat bagi suara dunia Pesisir yang kini asing.
Di Asia
Tenggara, Vietnam adalah satu-satunya negeri yang berada di luar jangkauan
narasi Panji dan gaya politik-kultural yang menjadi bagian dari interaksi
antara negara-negara Thai dan tetangganya. Reid mengajukan saran bahwa ada
sejumlah tertentu konstruksi kultural yang berlangsung dalam adopsi Vietnam
terhadap gaya Cina. Hal ini mengisyaratkan bahwa Vietnam berfungsi sebagai
peredam bagi penyerapan kultur politik Cina di Asia. Tapi pengaruh Cina tidak
berada di luar proses peradaban Pesisir. Kebudayaan Vietnam Selatan sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan Champa hingga abad ke-16 atau 17 dan diteruskan
oleh Suku Cham yang masuk Islam dan meneruskan sastra Melayu di Vietnam dan
Kamboja. Filipina merupakan kawasan di Asia Tenggara yang tampak terpisah dari
peradaban Pesisir, meskipun bentuk kesusastraan dan kesenian di wilayah Filipina
selebihnya belum diteliti dengan wawasan yang menyoroti kontak-kontak kultural.
Komentar
Posting Komentar